Sabtu, 31 Desember 2016

Tidak ada yang perlu disesali dari kian banyak kisah yang terurai, sebab semua pasti ada hikmahnya, ada tujuannya, ada maksudnya. Sebab yakinku, Allah itu baik sekali, teramat baik.. ❤❤

Terimakasih untuk nano-nanonya tahun 2016.. 😊
Targetnya? 
Semoga tahun depan udah jadi pendampingnya seseorang *eh?? 😁😁

Dan malam ini, Kita tutup cerita dan segala serba-serbinya yah,. 🔨📆❤❤

Terimakasih untuk kesekian kalinya..   

Semoga Allah selalu menjadi yang pertama..

Rumah,  31 Desember 2016

Sabtu, 24 Desember 2016

12:25

Dari sekian banyak yang datang dan pergi dalam hidup, kemudian menetap, kenapa harus kamu?

Pertanyaan yang sempat terlintas untuk kemudian menemukan jawaban..

Adalah perasaan yang entah bagaimana, bersama kamu, aku bisa tertawa selepas-lepasnya,.

Adalah perasaan yang entah bagaimana, bersama kamu, aku bisa bercerita dari ini-itu-nya hidup tanpa harus khawatir akan dihakimi atau dikhianati..

Adalah perasaan yang entah bagaimana, bersama kamu, aku bisa ngelap air mata di jilbab panjang kamu, tanpa harus jaim-jaiman ala ala..

Aneh nggak sih...?

Bagiku aneh,. Rasa aneh yang dimulai saat tau ternyata tanpa janjian mau pake baju warna apa, eeh pas ketemu saling ketawa, saling heran, "kok warna jilbabnya sama??! " atau "kok warna bajunya sama??!" "hayoooo ngintipin saya yaa??" dan pertanyaan itu lahir bukan dari satu dua kejadian, tapi SERING...

Anehnya lagi, saat kamu atau aku mulai bercerita kemudian ditimpalin dengan kata "saya juga ngerasain hal yang SAMA" , kemudian sama-sama saling menguatkan, sama-sama saling nyemangatin atau saat kita sama-sama menyatakan dengan sadar bahwa kita mulai berkhianat pada warna biru kemudian memilih warna yang dulunya kita bully habis-habisan, misalnya? *Sehati sekaliii ❤❤*

Dan lebih aneh, saat buka sms atau WA yang pernah sampai seratus pesan lebih, pas dibuka pesannya dari kamu atau aku yang isinya ternyata abal-abal, bukan sekali dua kali, tapi sering. Dan hasilnya kita jadi puasa smsan selama dua hari karna pesan nggak bisa terkirim ke siapapun padahal pulsa masih banyak, saat itu aku yakin kalau operatornya bisa jadi empet sama kita yang ababil banget.. 😂😂

Bisa sampai segitunya, Kan aneh ya...

Tentang Perasaan dan keanehan yang melahirkan rasa syukur sebab kita hanya akan melakukan hal-hal itu tentu bukan pada sembarang orang.

Hingga menemukan kenyataan bahwa kita akan benar-benar menjadi diri kita saat kita telah benar-benar menemukan tempat yang membuat kita merasa begitu nyaman, dan tempat itu mampu menampung dan melengkapi kita dengan ke-apa-ada-an-nya kita.

Terimakasih untuk kesekian kalinya,  terimakasih buat sabarnya kamu ngadepin akunya yang kayak gini. Untuk setiap "ruang terbuka hijau" yang selalu kamu sediakan saat aku ingin ini itu banyaaak sekali (jadi nyanyi, ya?😁) ...

Dan hari ini? Alhamdulillah Allah masih hadiahkan kamu buat aku, Allah lebihkan kesempatan untuk pundi-pundi keberkahan yang masih diizinkan...
Selamat ulang tahun ayaang, semoga umurnya berkah, makin baik hubungannya dengan Allah, makin semangat buat tebar kebermanfaatan dan Allah mudahkan jalan menuju nikah... 😁❤❤ *aamiin Allohumma aamiin*

Untuk Siti Zahra alias Zahra ar-rahma alias kesayangan Zahra,.

Di Tempat (hatiku ❤)


Rumah, 25 Desember 2016

Jumat, 23 Desember 2016

Ketika seseorang pergi dan meni ggalkan kita, semua jelas tidak lagi sama. Ada hal-hal manis yang dibawa serta, menyisakan kenangan yang tak akan hilang termakan waktu yang menyisakan perasaan rindu yang tak bisa dibagi dengan siapapun, cukup dirasakan sendiri.

Kepada setiap hal yang begitu ampuh menjadi alarm pengingat, membuat setiap kenangan seperti terjadi kembali hingga begitu manis untuk di ceritakan lagi. Pun hingga hari ini, menggenap dua tahun setelah kepergian seorang yang do'anya amat dimakbulkan Allah, seorang bidadari yang surga berada di telapak kakinya.
Brusaha mencari hikmah dari semua ini. Keyakinanku bahwa tidak satupun terjadi tanpa maksud kebaikan dari_Nya..

Setelah dua tahun. Ma, iin boleh minta peluk?  Peluk dari jauh juga nggak apa-apa, iin rindu...

Rumah.
Menjelang 24 Desember 2016

Selasa, 20 Desember 2016

Tulisan: Laki-laki Aneh

Aira : Yu!  Aku menemukan spesies laki-laki aneh!

Wahyu : Macam mana?

Aira : Dia bilang ke orang-orang kalau dia ingin mendekati seseorang,  tetapi nyatanya dia tidak berusaha melakukan pendekatan apa-apa

Wahyu : Kamu tau?  Laki-laki juga ada yang tipikal apa-apa harus selesai dipikir sebelum benar-benar dilakukan.

Aira : Maksudnya?

Wahyu : Bisa jadi,  laki-laki itu ingin langsung serius.  Dan, perempuan yang ingin dia dekati juga bukan tipikal yang bisa sembarangan di dekati.  Perlu langkah hati-hati,  agar tidak perlu lagi menambah luka hati

Kamis, 15 Desember 2016

Tulisan : Terima


Kurasa, kita lebih membutuhkan penerimaan daripada pengakuan. Kita lebih membutuhkan orang yang bisa menerima kita, bagaimanapun kekurangan kita saat ini juga hari-hari yang telah terlewati. Bukan mencari orang yang bisa melengkapi setiap sisi kekurangan itu, melainkan orang yang bisa menerimanya dengan hati yang terbuka dan senyum yang mengisyaratkan kepada kita; jangan khawatir.
Kita butuh orang yang bisa menerima segala hal yang selama ini kita khawatirkan, termasuk kekhawatiran kita bahwa kehadiran kita tidak bisa mengutuhkan kekurangan orang lain.
Penerimaan adalah tentang kelapangan hati. Bahwa sisi manusiawi seorang manusia akan selalu ada, akan selalu saja ada hal-hal yang tidak kita sukai darinya meski hanya satu atau dua. Karena setiap kita kelak hanya akan bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan, kemuliaan kita juga tidak pernah tergantung pada orang lain.
Memiliki hati yang bisa menerima adalah sebuah anugerah. Karena dengan demikian, hidup kita akan menjadi lebih mudah. Kita menjadi lebih berempati atas kekurangan orang lain, tidak juga menjadi hakim atas dirinya.
Kalau kita bisa menerima seseorang apa adanya, itu akan membantunya bisa menerima dirinya sendiri. Memunculkan rasa percaya dan keyakinan, juga kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya akibat kekhawatirannya pada pertanyaan tentang adakah orang yang bersedia menerima dirinya, kalau dia menunjukkan dirinya yang sesungguhnya?
Dan kalau kita bisa dan bersedia, jadilah jawaban dari pertanyaannya itu.


Mataram, Januari 2017

Surga yang Dekat


Ada banyak cerita yang aku temui dalam beberapa hari terakhir. Hasil dari perenungan sepanjang jalan, bertemu dan mengamati orang, berdiskusi dan dari bacaan yang terkumpul. Tulisan ini sempat tertahan beberapa hari demi menunggu beberapa pemahamannya menjadi utuh, menjadi sebuah kesatuan makna yang bisa aku tarik pembelajaran terbaiknya.
Beberapa waktu belakang ini, aku belajar kembali tentang pemaknaan manusia terhadap surga. Di saat aku menyaksikan event-event kekinian yang menjanjikan “surga” sebagai propaganda demi mendapatkan banyak peserta acara. Aku berusaha memaknai kembali, bagaimanakah surga yang menjadi tujuan dari umat manusia ini.
Aku berusaha mendalami dengan perjalanan, menemui sebanyak mungkin orang dan melihat sorot matanya. Berusaha menyelami kehidupan dengan semua perspektif yang disediakan, dengan semua sudut pandang yang memungkinkan untuk aku pakai. Sampai-sampai aku sendiri menangisi pemikiranku selama ini, betapa piciknya pikiran ini dengan segala isinya. Kalau ada cara bagaimana mereset sebuah pikiran, ingin sekali aku menghapus isi kepala ini, aku tidak suka isinya. Dengan bagaimana selama ini pikiran begitu mudah melakukan penghakiman.
Diperjalanan aku menemukan bahwa surga dimaknai berbeda dari satu orang ke orang yang lain, makna yang berbeda membuat setiap orang juga melakukan cara-cara yang berbeda untuk meraih surga itu.
Saat di kota, di komunitas masyarakat urban. Aku gembira menemukan semangat gelombang hijrah (dalam agama yang aku imani). Begitu banyak orang berbondong-bondong melakukan perubahan baik. Surga yang kabarnya tidak akan tercium oleh perempuan yang berpakaian tapi telanjang, membuat gelombang hijrah yang luar biasa. Surga itu seperti bisa diraih dengan jalan tersebut.
Dan di saat yang sama, hanya beberapa ratus meter dari pusat keriuhan acara-acara berlabel hijrah. Surga itu sesederhana seorang bapak yang mendorong gerobak sampahnya, pulang menjelang maghrib dengan membawa seplastik beras hasil mencari rezeki hari ini. Itulah jihadnya. Tidak sempat hadir dipikirannya tentang bagaimana mengubah penampilannya agar sesuai dengan konsep surga yang dimaknai oleh teman-temanku yang lain, yang rela mengeluarkan lebih banyak hartanya untuk membeli pakaian dengan segenap propaganda kehijrahannya.
Ada konstruksi pikiran yang berbeda, ada pemaknaan yang berbeda. Perjalanan ini membuat aku percaya satu hal bahwa Allah itu Maha dalam segala ke-MAHA-annya. Aku percaya bahwa setiap manusia itu akan mencapai surganya dengan ridho Allah. Dan surga itu tidak akan pernah bisa dimonopoli oleh segilintir orang dan golongan, tidak juga hanya bisa diraih dengan jalan-jalan yang serupa seperti yang tengah tren saat ini..


Setiap orang akan dimudahkan dalam beribadah, juga disediakan ladang ibadahnya sendiri. Ladang-ladang amal yang mungkin tidak akan pernah bisa dipahami oleh orang lain. Dan aku hanya bisa menangis saat aku berusaha membeli sebuah baju muslim baru dengan harga ratusan ribu, sementara di perjalanan pulang aku menyaksikan sepasang manusia, bekerja berdua mencari rezekinya. Saat kami sama-sama berhenti di sebuah masjid karena maghrib sudah menjelang. Ibu dengan jilbab seadanya, dengan baju lengan pendeknya, dan celana panjang yang lusuh. Dan suaminya yang mendorong gerobak berisi tumpukan kardus. Pikiranku ternyata benar-benar picik, aku mengira surga itu hanya bisa diisi dengan orang-orang pakaian syari terkini. Harus menghafal semua isi kitab suci, atau harus mengikuti semua kajian. Maka, aku harus benar-benar bersyukur karena diri ini dimudahkan dalam beribadah, tidak harus mengalami kehidupan yang sulit dalam hal rezeki (materi). Karena ada orang-orang yang tidak memiliki ruang dan rezeki untuk menikmati ibadah-ibadah itu.
Setiap orang sedang berjuang dalam hidup ini, berjuang yang terbaik. Untuk meraih surga-Nya. Sebuah tempat terbaik untuk pulang nanti, sesudah mati.
 Dan ternyata surga itu begitu dekat.

Tulisan : Tentang Takdir


Setiap hari kita dihadapkan pada kondisi dimana kita harus selalu mengambil keputusan untuk hidup kita sendiri. Dimulai dari bangun tidur, kita harus memutuskan apakah akan langsung bangun, atau tidur lagi. Apakah kita memutuskan untuk membaca doa bangun tidur atau mengecek handphone kita ada notifikasi atau tidak.
Setiap detik adalah pengambilan keputusan. Kadang, aku berpikir bahwa takdir sebenarnya adalah keputusan yang kita pilih sendiri. Apakah kita akan menjadi orang yang berguna dan berdaya atau tidak, itu adalah takdir yang kita pilih. Apakah kita akan berbuat baik atau jahat, itupun sebuah pilihan dan menjadi takdir yang bisa kita pilih.
Hanya saja, banyak hati dan pikiran manusia yang terlanjut mati oleh rutinitas. Menganggap bahwa apa yang terjadi setiap detiknya adalah hal yang wajar, biasa saja, dan sudah berjalan sebagaimana mestinya. Setiap hari melakukan hal yang sama, selalu serupa. Mengulang-ulangnya tanpa sedikitpun berusaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik, lebih efisien, atau lebih bermanfaat.
Kita menganggap apa-apa yang sewajarnya, ya disikapi sewajarnya. Lantas ketika kita berhadapan pada kondisi yang tidak sesuai, kondisi yang tiba-tiba mengacaukan rutinitas kita, kondisi yang membuat apa yang tadinya biasa kita lakukan menjadi tidak bisa. Kita kalang kabut.
Biasa bangun jam 8 pagi, dipaksa bangun jam 3 pagi. Biasa tidak pernah sarapan, dipaksa sarapan. Takdir, seringkali bertindak sesederhana itu. Hanya saja, kita tidak pernah siap. Dalam kondisi ekstrem, takdir bisa mengubah rencana hidup kita secara total. Bisa membelokkan arah hidup kita secara dratis.
Di saat itulah, kita mungkin baru merasakan bahwa hidup ini tidak mengalir begitu saja.



Cerpen : Titipan


Sudah berhari-hari lamanya beliau berdiam diri dari balik pagar tanaman rumahnya. Duduk diteras dengan syal putih yang melilit lehernya, kerudung hitam yang menyelimuti kepalanya seperti tidak pernah berganti. Sudah berhari-hari lamanya pula aku menyapa beliau setiap kali lewat, menawarkan sayur, cabai, dan segala macam bahan makanan. Beliau adalah pelangganku yang biasanya memesan berbagai macam sayuran setiap hari.
Aku berjalan sambil tersenyum, menawarkan daganganku pagi ini. Suaminya yang duduk di sebelah beliau menolak dengan mengayunkan tangan sambil tersenyum. Ini sudah berhari-hari lamanya beliau tidak membeli sayuranku lagi. Aku mendorong gerobak sayur menuju dua tiga rumah tetangga beliau. Berhenti.
Ibu-ibu keluar seperti biasa. Dan aku membiarkan mereka memilih sendiri apa yang mereka inginkan. Sesekali bertanya kabar, sesekali berbagi rezeki.
“Kasihan ya Ibu Dias,” salah seorang diantara ibu-ibu yang mengerumuni gerobak sayurku berceletuk. Ibu-ibu yang lain mengangguk, tanda setuju. Namun, tidak bersedia meneruskan obrolan itu.
Anak perempuan semata wayang keluarga ibu Dias meninggal beberapa minggu yang lalu. Mungkin sudah hampir sebulan. Anak satu-satunya yang menjadi harapan besar itu pergi selama-lamanya dari kehidupan dunianya. Seolah-olah tercerabut seluruh sumber kebahagiaan beliau. Suami beliau tampak begitu tegar dan sabar. Setiap hari, setiap pagi, menemaninya duduk di teras rumah sambil berusaha mengajaknya berbicara.
Entah bagaimana rasanya menjadi orang tua seperti beliau. Mungkin selama ini kita semua berpikir bahwa akan ada kesempatan untuk merawat kedua orang tua saat tua nanti. Hanya saja, kita lupa barangkali usia kita tidak lebih panjang dari kedua orang tua kita. Aku pun, tidak memiliki kesempatan sebab sejak kecil memang tidak pernah sempat berlama-lama dengan orang tua. Keduanya sudah meninggal sejak usia 7 tahun dan setelah itu kehidupanku berlangsung di panti asuhan.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya saat anak satu-satunya yang beliau miliki pergi begitu saja. Bahkan belum sempat pamit, belum sempat berpelukan, belum sempat menyampaikan sepatah dua patah kata wasiat. Anak itu pergi begitu saja, meninggal sebab kecelakaan lalu lintas di jalan raya.
Aku kembali berjalan ke arah rumah ibu Dias yang terletak persis setelah gerbang perumahan setelah ibu-ibu selesai berbelanja. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah suami beliau. Memang sulit membayangkan bagaimana perasaannya. Aku pun teringat kepada anak pertamaku di rumah, rasanya tidak ikhlas bila Tuhan tiba-tiba mengambilnya. Padahal aku tahu benar bahwa anak bukanlah milikku seutuhnya, ia adalah titipanNya.

Menjadi Orang Biasa

Saya sering bertemu dengan banyak orang. Orang-orang yang tidak saya kenal, juga tidak mengenal saya. Di jalan, di pasar, di mall, di masjid, di tempat makan, di mana-mana.

Lalu ketika kembali ke lingkaran pertemanan saya. Di tengah euforia orang-orang sedang membangun karir, sedang demam start-up, sedang sibuk membangun eksistensi. Saya kemudian berpikir, apa salahnya menjadi orang biasa-biasa saja?
Ketika saya pulang ke desa, ke kampung halaman saya. Saya bertemu dengan masyarakatnya, orang-orang desa yang sejak saya kecil sampai sebesar ini mungkin dunia yang dikunjunginya baru sejauh Jakarta. Itupun belum tentu setahun sekali, lebih banyak harinya habis di ladang dan sawah. Mereka tidak mengenal istilah start-up, tidak mengerti apa itu eksistensi. Tapi satu hal yang pasti, mereka berperan.
Adalah orang-orang yang tidak dikenal inilah yang membuat meja makan orang-orang bisa tersaji nasi. Juga beberapa macam sayuran. Mereka menjalani perannya dengan ikhlas. Tidak menuntut untuk menjadikan diri mereka dikenal banyak orang. Sungguh, tidak ada yang keliru sama sekali dengan menjadi orang biasa. Surga juga tidak diciptakan hanya untuk orang-orang yang eksis, yang terkenal, yang membangun ini dan itu. Dan perubahan peradaban juga tidak muluk-muluk dimulai dengan membangun perusahaan, dan berbagai macam euforia yang menekan kaum muda saat ini.
Yang paling utama adalah menjadilah seseorang yang berperan. Kemudian menjalani peran tersebut dengan sebaik-baiknya. Menjalaninya dengan penuh ketulusan dan niat yang lurus.
Kita semakin jauh dari niat, semakin jauh dari kearifan-kearifan. Kalau saya perhatikan, begitu banyak orang yang khawatir dirinya menjadi debu, menjadi bukan siapa-siapa dan biasa saja. Padahal menjadi debu pun sebenarnya sangat berarti dan bermakna ketika ia bisa menjadi berperan. Untuk tayamum misalnya.
Keluar rumahlah dan jalan kaki. Berapa ribu orang yang bisa kita temui dijalan dan sama sekali tidak kita kenal. Barangkali mereka adalah orang-orang yang amat dikenal oleh penduduk langit, surga merindukan kematian mereka, malaikat sibuk mencatat kebaikan dari peran yang mereka jalani.
Dunia ini benar-benar sementara, benar-benar senda gurau. Tidak akan habis kita mengejarnya. Setelah itu juga, tidak akan kita bawa mati. 



Iin Wahyuningsi
Rumah, catatan setahun yang lalu


"Meskipun sang Maryam menghadapi tuduhan keji dan keadaan sulit, namun Allah tetap mengatakan padanya (yang artinya): "Makan dan minumlah, dan bersenang-hatilah kamu" (Qs. Maryam:26)

Jalanilah hidup ini seperti biasa dan berbahagialah selalu, karena ada beberapa masalah yang solusinya hanya ada di tangan Allah, cukup di ceritakan kepada Allah.

---

Setidaknya, dengan segala yang sudah terlewati itu, ada banyak hikmah yang bisa di bawa pulang. Dan mungkin, sembuhnya kamu adalah kado terindah buat Bapak.
Selamat 'kembali' adik kecil.
Semoga setelah ini, iman itu kian terasa manis. Asal sabar asal ikhlas, ya sayang.❤❤

*Kak Iin, buat adik yang alhamdulillah udah balik baiknya, udah balik ngeselin-nyenenginnya, biar belum ilang keras kepalanya..❤❤

Suatu sore, menuju pertengahan Bulan terakhir..

Minggu, 11 Desember 2016

Scroll Buat Bapak

Waktu rasanya begitu cepat melesat, meninggalkan kita dengan kenangan-kenangan yang rasanya tak akan habis meski hanya untuk dikenang.
Menjadi saksi bagaimana perjuangan seorang laki-laki yang bergelar Bapak, rasanya begitu menyenangkan, sebab menjadi bagian dari laki-laki yang penuh dengan kehangatan, Kasih sayang, tanggung jawab, lucu dan menggemaskan adalah anugrah yang tak akan terbeli dengan benda yang bernama rupiah. Sebab ini tentang perasaan, perasaan syukur.

___

Laki-laki yang rela menghabiskan waktunya dari pagi, pulang disiang hari, sorenya pergi lagi hingga benar-benar pulang di waktu tengah malam. Menghabiskan tenaga sampai penghabisan hanya untuk mencari rupiah yang diberikan seluruhnya pada keluarga.
Bagaimana bisa sekuat itu Jika bukan cinta yang bekerja?

Laki-laki yang menghabiskan waktu puluhan tahun merawat pendamping hidup yang sakit-sakitan dan tidak pernah lelah kesana kemari meyempurkan ikhtiar hanya demi kata "sembuh".
Bagaimana bisa sesabar itu, jika bukan cinta yang bekerja?

Laki-laki yang sebisa mungkin selalu makan masakan rumah. Jikapun makan diluar, makanan selalu dibungkus dan dibawa pulang. Dengan alasan "biar sama-sama merasakan".
Perasaan yang selalu merindukan rumah. Bagaimana bisa seperti itu Jika bukan cinta yang bekerja?

Laki-laki yang selalu ingin mendampingi, laki-laki yang lebih banyak bersabar menghadapi tat-tit-tut-tet-tot- tiga bocah yang kini kian tumbuh mendewasa. Bagaimana bisa Jika bukan Cinta yang bekerja?

___

Dan tepat di hari ini, menggenaplah angka lima puluh enam tahun untuk Bapak, meski katanya Bapak sebenarnya lebih tua dari kalkulasi angka di KTP, tapi buat iin Bapak selalu muda dan ketceeh, masih anteng di bawa kemana-mana, masih cakep jadi teman menghadiri undangan😂😅..

Selamat hari ulang tahun Bapak, selamat bertambah usia. Semoga Allah kian meluaskan ruang kesabaran di hati, kian berkah umurnya, kian baik hubungannya dengan Allah, kian banyak manfaatnya untuk orang lain, kian sayang sama tiga serangkai di rumah..aamiin.. ❤❤

Sekarang, kalau ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama, "kamu mau laki-laki yang bagaimana?"
jawabannya juga tidak akan berubah, "kurang lebih seperti Bapak saya"..

Meski ada satu dua sifat Bapak yang buat iin kurang berkenan, tapi nggak akan pernah mampu menghilangkan setiap mili alasan untuk lebih lebih lebih lebiih sayang Bapak..

Terimakasih, Pak.. Terimakasih sampai habis kata.. :")

*semoga Bapak ndak nangis abis baca ini

Kamar, 12-12-2016

Kamis, 08 Desember 2016

Bersyukurlah


jika saat kau membaca tulisan tentang hijab, lantas kamu tersinggung. Bersyukurlah, karena memang itu untukmu.

jika saat kau mendegarkan ceramah tentang islam melarang pacaran, lantas kamu tersinggung. Bersyukurlah, karena ceramah itu memang ditujukan padamu.

jika saat kau diajak agar jangan membicarakan orang, lantas kamu tersinggung. Bersyukurlah, karena ajakan itu ada untukmu.



Saat seseorang mengajak pada kebaikan, lantas kamu tersinggung, lantas hatimu merasa tak nyaman, lantas kamu merasa memang melakukan itu. Bersyukurlah.

Bersyukurlah, karena masih ada bagian dari hatimu yang Allah biarkan agar terketuk.

Bersyukurlah, karena Allah masih memberikan kesempatan bagi dirimu untuk berubah.

Bersyukurlah, karena masih kesempatan bagi hatimu untuk terbuka.
Bersyukurlah, karena hati ini masih mungkin menerima hidayah.

Karena, jika saat diajak pada kebaikan lantas kau tak merasakan apapun sama sekali, tak merasa risih, tak merasa bersalah, tak merasa memiliki dosa, merasa orang lain “sok alim” atau “sok agamis”, Bisa jadi, Allah telah menutup dan mengunci hatimu.

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” 
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendegaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka, siksa yang amat berat” (Q.S. Al-Baqarah : 6-7)

Maka, bersyukurlah saat kau tersinggung, karena di hati kecilmu ingin berubah menjadi baik, walau hanya sedikit. Tinggal masalah waktu, hidayah datang dan meluluhkan hati yang keras.
Selamat berubah menjadi lebih baik kawan.
 Semoga kita bukanlah bagian dari orang-orang yang dikunci hatinya, dimatikan pendengarannya, dan ditutup penglihatannya.



Teras Rumah Bersama Guyuran Hujan, 10 Desember 2016
“Dan hati manusia selalu berubah-rubah, bagaikan bulu yang diombang-ambing oleh angin di tengah tanah yang lapang” (HR. Ibnu Majah)
 
 
  Maka wajar, asalnya rajin ibadah, besok-besok solatnya ditunda-tunda.

Maka wajar, hari ini rajin gibah, besok-besok yang sering mengingatkan.

Maka wajar, hari ini benci, besok-besok yang paling merindukan.

Hati itu berubah-rubah. Itu kenapa, yang sulit dari melakukan, adalah istiqomah.

MENGAPA BERBEDA?


“Kak, kenapa ya, kalau di tulisan, sama aslinya, beda yah?”



Sering kali kita bertemu orang yang perilakunya berbeda dengan tulisannya. Nampak dalam tulisannya begitu sempurna, bahkan nyaris tak ada kekurangan, sedang dalam kesehariannya, banyak kesalahan-kesalahan yang dibuatnya.
Wajar saja.

Tulisan-tulisan yang hebat, dia tidak dibuat dalam sekali tulis. Ketika salah menulis, typo, salah memilih kata, maka mudah bagi kita untuk menghapus dan juga mengeditnya kembali, melihatnya kembali, dan akhirnya membuat semua tulisan menjadi nampak sempurna. Bahkan, penulis-penulis hebat pun, takkan mampu membuat tulisan yang terus menerus sempurna tanpa melakukan editing.
Sedang dalam berprilaku, tak sekalipun perilaku kita yang salah, bisa kita ulangi atau pun kita edit. Dia akan mengalir, tanpa bisa diulangi. Seringkali, perilaku kita keluar secara spontan, tanpa kita fikirkan akan berdampak apa. Kita bisa memilih kata-kata yang baik dalam tulisan, tapi dalam bertindak, kadang kita diminta cepat untuk memilih sesuatu dalam mengambil keputusan yang bisa jadi putusan tersebut berdampak baik ataupun buruk.

Maka dari itu, dalam menjalani setiap level dalam kehidupan, kita harus berhati-hati, baik memilih kata untuk berbicara, menentukan langkah, menjalankan solusi dalam menghadapi masalah, karena tak satupun keputusan yang kita buat, bisa kita tarik kembali.
Hidup ini sesungguhnya jauh lebih sulit, dibanding membuat tulisan di blog.



Kamar, 24 Desember 2016

Selasa, 06 Desember 2016

Ruang kosong

Perlahan-lahan manusia mulai meninggalkan takdirnya sebagai makhluk sosial, menuju hidup yang lebih individualistis.
Kemandirian dibangun dengan rasa curiga pada orang lain dan keinginan untuk mengalahkan, bukan pada rasa percaya dengan dukungan sesama. Sehingga kita hidup bersama, tapi bukan untuk berbagi.
Kita hidup dalam kelompok, tapi bukan untuk saling terhubung, kita mungkin bergandengan tangan dipermukaan, tapi berselisih dalam hati.

Barangkali, dulu, ketergantungan antar manusia lebih terasa. Sebelum telepon ditemukan, kita sangat bergantung pada pertemuan tatap muka. Sebelum Google tercipta, kita sangat membutuhkan untuk tempat bertanya dan berdiskusi. Sebelum segala kemudahan teknologi dan ekonomi yang ada kini kita menyadari bahwa kesendirian tidak bisa menjadi cara untuk bertahan hidup.

Tapi kemudahan hanya ilusi.
Sebenarnya, hidup berjalan lebih sulit dari sebelumnya.

Kita tak ubahnya seperti sekawanan semut yang ditakdirkan hidup berkoloni tapi memilih untuk meninggalkan koloni dan hidup masing-masing. Membangun sarang sendiri-sendiri, mencari makan sendiri-sendiri. tak terelakkan lagi, kolaborasipun berubah menjadi kompetisi. Perkawanan berubah menjadi perlawanan. Satu sama lain kita bersaing. Bersaing memiliki sarang terbesar, bersaing memperebutkan makanan, bersaing mendapatkan hidup yang lebih baik.

Sepertinya hidup menjadi lebih mudah dan maju. Tetapi, jauh di dalam jiwa, kita kesepian..

Dan berbagai kompensasi yang kita penuhi untuk mengusir kesepian itu; kesibukan, kepopuleran di dunia maya, dan perasaan bebas, tak juga mampu memenuhi ruang kosong dalam hati.

Kita mungkin memiliki banyak perbedaan, pengalaman dikecewakan, pengalaman disakiti orang lain, yang membuat kita berpikir untuk memutus hubungan dengan orang lain. Tapi kita juga memiliki satu hal yang saling beririsan, yakni bahwa kita adalah makhluk koloni, kita adalah semut-semut yang akan mencipta banyak makna jika bersama. Kita tidak bisa hidup sendiri..

"No man is an island, entire of itself; every man is a piece of the continent, a part of the main"
-John Donne

Mari mendekat, untuk menghubungkan kembali yang terputus. Mari membuka hati untuk saling mengisi. Mari awali semua itu dengan saling mendengarkan..

Kamis, 01 Desember 2016

Aksi Damai 212

Lagi-lagi aku teringat kisah seekor semut yang mengusung air untuk mematikan api yang membakar Nabi Ibrahim as. Ketika binatang lain menertawakannya dan berkata, "hai semut, percuma airmu yang sedikit itu tidak bisa mematikan api". Jawaban semut adalah, "biarlah. Namun dengan begini aku menunjukkan sikap (pada Allah) kepada siapa aku berpihak".

Nabi Ibrahim as tidak perlu ditolong oleh makhluk lain, sebab Allah pasti menolongnya. Tapi itu adalah cara semut beragama.

Mungkin ini analogi yang tidak relevan, tapi aku secara pribadi menghubungkan kisah ini dengan event hari ini.
Katakanlah islam tidak perlu dibela, tapi melakukan protes pada penistanya adalah adalah salah satu menunjukkan sikap (pada Allah) kepada siapa kita berpihak. Jikapun tidak bisa mengikuti event nya, setidaknya mendoakan dari rumah.

Satu lagi kata-kata Murabbi yang membuat aku merasa ditembak mati: "kalau Umar Bin Khattab masih hidup, apakah dia akan diam atau tidak diam?"

Berdasarkan sejarah, sudah bisakah menebak jawabannya?  Silahkan mau memilih mengikuti sahabat Rasul atau tidak. Kalaupun tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya mendukunglah dengan berdoa...





Selasa, 29 November 2016

Kalau nikmat hanya dihitung berdasarkan rupiah yang didapat, maka dunia semakin dirasa tak adil bagi mereka yang kumpulan rupiah tiap harinya di bawah standar 'normal' pemerintah.

Kalau Rizki dihitung hanya berdasarkan jumlah tabungan yang dimiliki maka dunia semakin menyesakkan bagi mereka yang penghasilannya selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari.

Maka nikmat dan Rizki sudah barang tentu tidak bisa disetarakan dengan uang. Nikmat dan Rizki adalah apa-apa yang kita rasa dan kita dapat dari Allah.

Allah, maafkan kami, hamba-mu yang lebih sering lalai terhadap nikmat dan rizki-Mu..
Allah, mudahkan kami agar lebih peka merasakan segala kenikmatan dari-Mu..

*Dalam perjalanan menuju pulang, melihat mereka mengais-ngais sampah hingga menjadi rupiah. Dan aku, merasa tak yakin, mereka yang harus dikasihani. Kemungkinan besar aku, yang harus mengasihani diri sendiri; menolong jiwa yang sering tidak peka*

Sabtu, 26 November 2016

PUISI: Kupu-kupu, untukmu (sudah sampai 'kah?)

Semalam aku menitipkan setoples penuh berisi kupu-kupu kepada angin
Aku mengirimkannya untukmu,
Sudah sampai?
Aku berpesan kepada angin, "tolong sampaikan kupu-kupu ini ke hatinya yaa, pastikan memenuhi semua ruangan disana"
Angin lalu bertanya, "kupu-kupu sebanyak dan secantik ini untuknya? Untuk apa?"
Aku tersenyum, "agar kupu-kupu itu terbang di hatinya, mengepakkan sayap dengan lembut, untuk menenangkan hatinya yang sedang bergemuruh"
Kemudian angin pergi sambil melongos, "aku iri padanya"
Aku tertawa
Kupu-kupunya sudah sampai kah?  Jumlahnya cukup banyak, ada 100, karena aku tahu hatimu besar, cukup luas untuk aku singgah kan?
Semoga kepakan sayapnya bisa menghembuskan sedihmu yaa, agar yang tersisa hanya tenang
Aku juga memesan kupu-kupu dengan spesifikasi khusus
Sayap-sayapnya berwarna-warni, dan akan luntur jika terkena air
Agar ketika hatimu mendung dan akhirnya gerimis, warna-warni itu akan menjadi noktah-noktah cantik
Melukis awan biru dan mencipta pelangi tujuh warna di hatimu
Agar mendungmu hilang
Agar cuaca buruk dalam hatimu membaik
Kupu-kupunya, sudah sampai kan?
#Puisi #kupu-kupu #Random

Rabu, 23 November 2016

"Sabar adalah senjata terbaik selain sholat, dan ikhlas adalah kemenangan terbaik selain iman"

--suatu saat, kehilangan, kesedihan, luka, amarah, perih, dan ketidak adilan di dunia memiliki caranya sendiri untuk bersaksi di akhirat bahwa tuannya sudah bersungguh-sungguh mencoba untuk meletakkan Tuhan di atas segalanya.

Asal sabar, asal ikhlas...

Kamis, 17 November 2016

Bisnis dan Kapitalisasi Aurat


Sebelumnya, saya memohon maaf jika mungkin tulisan saya menyinggung. Saya tidak bermaksud menyinggung siapapun, hanya ingin menceritakan sesuatu yang semoga menjadi pengingat bagi saya sendiri khususnya sebagai muslimah sekaligus sebagai (calon) pengusaha in sya Allah. Cieee…
Kita hidup di jaman di mana hijab menjadi sebuah trend. Menutup aurat bukan lagi sebuah keanehan dan perempuan berpakaian syar'i sudah menjadi pemandangan familiar. Sekitar belasan tahun ke belakang, menutup hijab adalah hal yang janggal, aneh, dan seringkali di larang.
Kemudian kebutuhan akan hijab menjadi meningkat di masyarakat. Bagi orang - orang yang bisa melirik peluang, bau uang sudah tercium dan pasar hijab, saya juga pernah mencoba bermain di dalamnya dulu dan akhir-akhir ini, and seriously, menjanjikan! Kata seorang customer desain saya yang mantan direktur marketing salah satu perusahaan hijab (syar’i) lokal terbesar di Indonesia, justru karena banyaknya saingan, itu menandakan bahwa pasar hijab begitu banyak. Jika tidak ada peluang pasar di dalamnya, tidak mungkin pengusaha - pengusaha merambah ke dunia itu. Tentu saja, perdagangan hijab berkelas - kelas, dari kelas Pasar Baru dan Gasibu hingga Saphira atau Zoya. Dari yang setipis saringan air hingga yang syar’i seperti milik Rabbani atau Nibras Hijab.
Banyak hal positif dari bisnis hijab. Muslimah - muslimah Indonesia tidak lagi kesulitan menutup aurat. Simbiosis mutualisme antara produsen dengan masyarakat bukan?
Saya tidak akan membicarakan hijab, tapi lebih kepada bisnis kecantikan lain yang berawal dari populernya hijab.
Ceritanya, hari Selasa lalu dalam mata kuliah Design Thinking, kami diminta presentasi mengenai branding bisnis atau rencana bisnis kami masing - masing. Salah satu teman saya mempresentasikan bisnisnya yang berupa kerudung printed. Scarf printed memang sedang populer, terutama jika desainnya dari brand terkenal seperti Ria Miranda. Motifnya biasanya bunga - bunga, dengan warna pastel yang syahdu, manis sekali walaupun saya tidak pernah ingin mengenakannya. O ya, karena printing kain masih mahal sekali, yang saya tahu, hijab printed biasanya berukuran kecil kecuali dari brand milik Gaida.
Saya hanya fokus pada teknis dan proses brandingnya ketika  Profesor kami dengan agak sungkan bertanya, “saya ingin bertanya pada kalian yang berhijab di sini. Hijab itu kan untuk menutupi aurat ya, nah kerudung bercorak warna warni gini kan membuat perempuan jadi cantik dan memikat banyak laki - laki. Itu gimana ya, bukankah hukumnya justru tidak boleh demikian dalam Islam? Saya tidak tahu ini ya, tapi bahkan brand W**d*h juga membuat seakan perempuan tuh harus (dandan) cantik, begini, begitu.”
Terus terang saya merasa ditampar. Hal ini membuat saya berpikir lebih jauh lagi. Pengusaha kebanyakan akan melihat kecantikan yang seakan Islami dari sisi peluang. Serius deh, saya juga pernah bekerja di perusahaan kosmetik yang disebutkan dosen saya itu (walaupun saya tidak mengerjakan project decorative, tapi skin care). Bisnis muslimah adalah pasar besar yang dilirik banyak orang. Di sana kita bisa jualan apa saja, asal brand ambasadornya berhijab dan ada label halal, seakan - akan semuanya sudah memenuhi syarat menjadi muslimah.
Wardah adalah yang mengawali penjualan kosmetik dengan label halal, dan memang tujuannya demikian, memberikan garansi dan rasa aman pada santri yang ingin merawat kulitnya (merawat kulit, bukan berhias) karena banyak kosmetik yang tidak halal bahkan najis. Di jaman ini, semuanya bergerak sesuai dengan perkembangan pasar dan bisnis. Banyak brand kecantikan kemudian ikut-ikutan menggunakan label halal dengan bintang iklan berkerudung demi menarik minat pasar muslimah, padahal belum tentu secara syariah yang dipamerkan di televisi dan media itu diperbolehkan.
Tentu saja, bisnis yang mendukung muslimah ini banyak manfaatnya. Kita jadi mengerti bagaimana harus berpenampilan baik, kita jadi mudah merawat diri, dan yang jelas ini adalah ladang rejeki bagi banyak sekali orang dan bidang.
Yang menjadi kontroversi adalah ajang Putri Muslimah, yang diprotes banyak orang karena membawa nama muslimah tapi memamerkan kecantikan di depan khalayak. Sponsor memberinya sponsor bukan karena mendukung kegiatan tersebut, tapi karena takut kesempatan menjadi sponsor direbut oleh kompetitornya. Lagi lagi kepentingan marketing.
Saya sendiri bukan yang sudah mengenakan hijab syar’i (semoga suatu hari nanti), saya juga masih sering berhias dan berdandan, karena begitulah kecenderungan wanita : ingin berhias dan terlihat cantik. Bagi saya, sulit sekali mengenyahkan nafsu ingin kelihatan cantik. Barangkali banyak perempuan juga begitu.
Lalu apa ujung dari tulisan ini? Sebenarnya lebih kepada mengingatkan diri sendiri dan barangkali teman - teman yang mengamati hal yang sama, bahwa kita perlu lebih berhati - hati. Dalam jaman yang begitu dinamis dan kapitalis, banyak sekali produk yang dengan mudah akan memuaskan nafsu kita berhias. Saya sendiri masih kebayang - bayang untuk membeli lipstik warna merah menyala. Tentu saja perempuan boleh berhias, tapi dengan batasan - batasannya. Dan batasan ini sesungguhnya mutlak sesuai tuntunan agama, namun pengaplikasiannya begitu relatif sesuai dengan yang mau kita percaya.
Duh, pada akhirnya, tulisan ini mengkritik diri saya sendiri yang kerap tidak peduli bahwa apa yang saya kenakan jauh dari kewajiban muslimah.
Sekali lagi saya mohon maaf jika ada yang tidak sepakat. Kita bisa berdiskusi di belakang, karena fenomena bisnis muslimah ini sangat menarik bagi saya.
Wallahualam Bissawab.


(Via JagungRebus)

Rabu, 16 November 2016

Ambisi Perempuan

Wahyu: Apa perempuan itu nggak punya ambisi?

Aira: Perempuan yang mana?

Wahyu: Itu, yang waktu mahasiswa aktif sekali kemana-mana, yang waktu kerja passionate sekali, tiba-tiba setelah menikah, melempem.

Aira: Emang ada, tapi nggak semua, kan? Lagipula apa salahnya selama di dalam rumah dia baik-baik saja?

Wahyu: Ya, memang dia jadi fokus sekali dirumah. Foto-foto anak setiap detik macam kurang kerjaan aja.

*Wahyu dan Aira tertawa*

Aira: Aku paham maksudmu, tapi begini Yu, beberapa waktu lalu aku kepikiran. Aku menemukan banyak laki-laki yang (berusaha)  bertanggung jawab itu selalu gila kerja. Ambisius. Berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya, berusaha mengeluarkan tenaga sampai penghabisan untuk menjadi berguna. Jadi, apa salahnya ketika perempuan memilih berusaha menyediakan waktu untuk menunggu dan menyambut laki-laki dalam keadaan terbaiknya, tanpa harus merasa sama-sama capek dengan pekerjaan di luar? pada akhirnya setiap petualang butuh tempat pulang, kan? 
Biarkan perempuan itu manjadi rumah terbaiknya, untuk bisa memberi apa saja, membalas kebaikan laki-laki yang sudah memeras keringat begitu rupa..

*Ambisi perempuan (atau cuma kamu, in?😁)

Sabtu, 12 November 2016

Hidup Sebagai...

kalau kita lahir tidak sebagai muslim,  kiranya bagaimana?
Kalau kita tidak lahir di negeri ini, kiranya bagaimana?

Bagi saya, kenikmatan terbesar adalah iman. Dari milyaran manusia yang telah lahir sejak Nabi Adam hingga hari ini, kita terpilih lahir sebagai muslim.
Dimanakah letak kesedihannya?

Dan di bumi yang luas ini, kita ditakdirkan lahir di negeri bernama Indonesia. Negeri yang kabarnya memiliki penduduk beragama islam terbesar. Kita hidup ditengah begitu banyak paradoks di negeri ini.  Apa yang agama kita ajarkan, sering tidak kita temukan di lapangan. Apa yang agama kita tuntunkan, sering kita temukan orang melanggar dengan tenang. 

Lalu, bagaimanakah baiknya kita menjalani hidup sebagai seorang muslim yang tinggal di negeri ini?

Kita dihadapkan ujian yang berbeda dengan ujian yang tengah dialami saudara kita di Timur Tengah, Palestina, Eropa dan belahan dunia yang lain. Kita diuji oleh pemimpin yang dzalim, kita diuji oleh sesama muslim yang saling menuduh, kita diuji oleh teman-teman terdekat kita sendiri.

Sering rindu, bagaimana rasanya hidup di zaman kenabian. Bisa bertemu dan melihat Rasul, bisa bertanya bila ada ragu, bisa mendengar nasihat-nasihatnya dari mimbar, bisa berdiri sebagai makmumnya ketika berjamaah, bisa terjun perang bersama melawan kedzaliman.

Kini, kita tengah diuji dengan ujian yang bertubi. Kalau niat kita hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, rasanya hidup sebagai muslim tidak pernah mengajarkan untuk masuk surga sendirian. Luruskan niat dalam setiap perjuangan. Luruskan niat dalam setiap tindakan.

Hari ini, kita tengah sibuk melawan.  Jangan lupa membantu tetangga yang kelaparan, jangan lupa peduli kepada yang dekat. Hari ini kita jengah dengan keadaan. Jangan lupa. Jangan lengah...

5 November 2016

Minggu, 06 November 2016

Yang Mencintaimu, Tak Akan Menyalahkanmu

Dan jika kita berfikir bahwa hujan itu merugikan. 
Hilangkan ego kita.
Karna jauh ditempat kita berdiri ada para petani yang sedang menari-nari,  menyambut hujan dengan suka cita.
Karena jauh dari batas jarak pandang kita,  ada orang-orang yang menantikannya begitu lama.
Karena jauh menembus urusan perasaan,  ada orang yang sengaja mencari pasangannya, untuk berpayung berdua,  agar bisa saling mengeratkan hati. 
Jika kita fikir hujan merugikan,  mungkin itu  karena kita tidak pernah berusaha menikmatinya.
Bagaimana kita memaknai anugrah dari semesta ini,  kenapa masih terdengar umpatan dari tengah jalan Raya ketika hujan jatuh membasahi setiap inci aspal hitam?
Selalu ada bermacam suara dibalik setiap tetes hujan yang jatuh dari awan kelabu.  Suara-suara itu melebur baur menjadi rangkaian simfoni. Temponya mengalun mengikuti derasnya setiap tetes yang jatuh. Hujan bernyanyi sesuai hati pendengarnya, kau tau?
Aku selalu suka saat hujan turun. Selain aromanya yang menenangkan, ada saja yang kerap hadir di benak,  seperti saat ini. Entah kenapa aku sedih mengetahui beberapa orang kerap mengumpat pada hujan yang turun. Hujan datang untuk menyegarkan lelah kita.
Tiap tetesnya bukan hanya menyirami bumi yang kering,  tapi juga jiwa yang letih dan penuh dahaga. Di bawah guyuran hujan aku selalu merasa bahagia.  Aku hanya berani menerka alasan mereka mengumpat.  Banyak tanda tanya yang kudapat namun tak satupun menemukan jawaban.
Seringkali memang begitu ya,  tak semua tanya menemukan jawaban.  Pun tak semua jawaban sesuai dengan ekspektasi. Yang selalu aku ingat dari hujan adalah mereka yang selalu gemar mengandingkannya dengan syair-syair rindu. 
Sebegitunya kah hujan membawa kabar akan rindu?
Hujan tidak hanya membawa rindu.  Pejamkan saja matamu ketika ia datang,  resapi dalam-dalam maka kamu akan dipeluk olehnya hingga terlelap. Ia juga mendatangkan berjuta inspirasi bagi yang mengenalnya dalam-dalam.  Tidak percaya?  Lakukan saja.
Aku percaya. Aku percaya akan kata-kata itu seperti aku percaya bahwa hujan membawa banyak berkah bagi penduduk bumi. Semoga rutukan yang datang ketika hujan singgah kalah oleh kita yang masih terlalu suka saat hujan turun.. :)
Beginilah caraku memandang hujan
Mataram dan hujan malam ini,
05 November 2016

Kamis, 03 November 2016

Iman

Kenapa kita takut miskin padahal kita diciptakn oleh Yang Maha Kaya?

Kenapa kita takut tidak brhasil padahal segala daya & upaya hnya milik Allah?

Kenapa takut tidak bertemu jodoh padahal kita diciptakn berpasang2an?

Kenapa kita takut keluar dari zona nyaman padahal kita diciptakan oleh Yang Maha Melindungi setiap langkah & gerak gerik kita?

Sebenarnya,  yang kurang bukn nikmat Allah,  bukan juga karunianya.
Yang kurang adalah iman kita. Kurang yakin kepada Allah.

Padahal, Allah tidak suka diragukan.
Jadi.. Jangan risau, ada Allah :)

Senin, 31 Oktober 2016

Selalu Ada Bahagia yang Bisa Disyukuri

Ada kalanya kita sedih,  sediih sekali. 
Mungkin saat itu bisa jadi saat-saat terberat dalam hidup kita.  Kita sedang dicoba sedemikian rupa.  Konon katanya,  setelah itu kita akan naik level.
Sabar..

"Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk." Kata Tan Malaka

Menggugulah, menangis saja, biar lega. Asal jangan berlarut-larut.

Ingat,  selalu ada hal-hal bahagia  yang bisa kita rengkuh.  Sekecil apapun, tumbuhkan.  Kumpulkan remah-remah bahagia itu.  Sampai sakumu penuh.  Dipenuhi syukur.
Beri ruang pada hati yang sedang biru untuk memahami bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan.. .

Semuanya akan terlewati dengan baik-baik saja.  Jangan khawatir :)

Minggu, 23 Oktober 2016

Kehadiran

...sejak hari itu aku belajar bahwa bentuk Kasih sayang manusia pali g sederhana namun paling nyata adalah kehadiran. 
Ketika kita menyayangi seseorang, kita akan selalu berusaha hadir,  meskipun tidak selalu sampai dengan raga kita.  Selalu menemukan cara lain untuk hadir.  Sekaligus selau menghadirkan, dalam hati dan dalam do'a...

Untuk Perempuan terbaik, bernama Mama

Rabu, 19 Oktober 2016

Yang diyakini, yang didapatkan

Di saat kita semua berlomba untuk mengejar impian dengan keyakinan bahwa impian itu baik bagi kita,  ada Allah yang Maha Mengetahui dengan ilmu-ilmuNya bahwa yang terbaik bagi kita tidak selalu sesuai dengan prasangka kita.

Lalu ada kalanya beberapa dari kita bahwa dengan meyakini usaha-usaha kita, kita pasti akan sampai pada impian yang telah kita gantungkan. Lalu di saat yang sama,  kita lupa bahwa Allah yang memiliki kehendak atas takdir-takdir kita.

Bukan keyakinan dan usaha saja yang mengantarkan kita sampai pada tujuan. Tapi hanya kebaikan Allah yang membuat kita sampai pada tujuan.

Pernahkah kamu mendengar sebuah cerita,  bahwa ada seorang hamba yang meminta keadilan pada Allah atas amalnya di dunia agar masuk surga.  Tetapi dia tidak mendapatkannya. Lalu dalam cerita itu terajarkan bahwa surga dan segala impian yang kita gantungkan hanya bisa dicapai dengan rahmat Allah,  bukan hanya pada amal dan usaha-usaha kita.

Jika suatu saat nanti kamu berada dalam pencapaian mimpi-mimpimu,  maka ingatlah bahwa pencapaian itu bukan sebatas bayaran atas usaha-usaha kamu.  Tapi di balik itu, ada Allah yang telah menghendaki kamu untuk berada disana.

Agar tidak sombong diri,  seperti Qorun yang mengatakan bahwa "ini semua adalah berkat upayaku" . Agar tidak lupa diri, seperti Firaun yang berkata "Aku adalah tu(h)an kamu sekalian. "

Sesungguhnya kita perlu bersantun-santun kepada Allah adalam mencapai tujuan

#selfreminder

Mataram, 20 Oktober 2016

Di Bawah Naungan Masjid Kubah Biru

Jika bertanya, Tuhan ada dimana? 
Orang akan menunjuk "Di atas" atau "Di langit" atau "Di Singgasananya". Berbagai variasi jawaban selalu akan muncul atas pertanyaan yang diberikan.

Lalu Aira bertemu teman yang sangat rajin beribadah,  Fatimah, namanya..

Di waktu Dhuha itu,  Fatimah meminta Aira menutup mata dalam posisi duduk,  lalu membukanya kembali, dan nampak dia membuat jarak 10m dari Aira.  Kemudian Fatimah bertanya;

"Ra,  apa yang kamu lihat?" tanya Fatimah sambil menunjuk dirinya.
"Manusia" jawab Aira

Fatimah meminta Aira menutup mata lagi,  lalu membukanya kembali.  Tiba-tiba Fatimah sudah berada 5m lebih dekat,  dan Fatimah bertanya lagi;

"Kalau sekarang?" tanya Fatimah sambil menunjuk dirinya
"Manusia" jawab Aira kembali
"Bagus" Kata Fatimah

Fatimah meminta Aira menutup mata lagi,  lalu membukanya kembali,  tiba-tiba Fatimah sudah berada sangat dekat hingga jarak mereka hanya 1m,  dan dia bertanya lagi;

"Kalau sekarang?" tanya Fatimah sambil menunjuk dirinya lagi
"Perut kamu" jawab Aira kembali

Fatimah menyuruh Aira menutup mata lagi, entah apa yang dilakukan dengan bertanya seperti itu.  Namun,  belum selesai bertanya dalam hati, Fatimah meminta Aira membuka mata,  dan nampak mata Aira berada tepat di depan perut Fatimah dengan jarak hanya beberapa cm.  Lalu Fatimah bertanya lagi;

"Sekarang coba kamu lihat, apa yang kamu lihat"
"Manusia" jawab Aira
"Bukan,  tapi yang kamu lihat" Fatimah bertanya lagi
"Hmm.. Warna hijau" itu adalah warna jilbab yang dikenakan Fatimah
"Tebak,  apakah saya?" tanya Fatimah
"Manusia lah,  jelas" jawab Aira
"Yakin?" Fatimah kembali bertanya
"Yakin seratus persen" jawab Aira dengan semangat
"Lalu,  bagaimana caranya kamu yakin kalau hanya dari warna yang kamu lihat itu adalah manusia?" tanya Fatimah lagi
"Karna memang saya sudah tau, bahwa memang kamu kan manusia,  jadi saya yakin kalau kamu manusia" jawab Aira

Fatimah akhirnya duduk dan mempersilakan Aira duduk kembali tepat disampingnya, menghadap ke arah Timur pelataran masjid.

"Itulah Tuhan,  Ra.. Tuhan memang tidak akan terlihat.  Karena saking besarnya,  bahkan kita tidak bisa melihatnya.  Bisa jadi Tuhan memang ada di depan kita,  namun mata tak mampu melihatnya, seperti kamu melihat warna hijau di depan matamu. Namun, mereka yang beriman, tetap akan meyakini,  walau tak bisa dilihat mata,  Tuhan itu ada dengan kita. Sama seperti kamu,  walau tak bisa melihat wujud manusia, kamu yakin bahwa dari warna hijau tadi adalah manusia.
Kenapa? Karena kamu sudah tau, bahwa memang ada manusia dibalik warna hijau tadi" jawab Fatimah sambil tersenyum dan menengadahkan wajah menghadap langit biru

Penjelasan yang singkat nan santai dari Fatimah kepada Aira. Maka tidak penting kita tau keberadaan Tuhan dimana, selama kita yakin, maka Tuhan ada di dekat kita.

Pertanyaannya,  apakah kita sudah yakin Tuhan itu dekat?

 

Di bawah naungan Masjid Kubah Biru,
15 Mei 2015
Fatimah kepada Aira

Senin, 17 Oktober 2016

Sebuah Cerpen: Gadis dengan Sejuta Senyum yang Tak Bisa Habis

Saat itu aku melihatnya berlarian di tengah hujan. Kali ini dresnya merah muda, senada dengan payungnya. Tangannya sesekali dia tengadahkan,  sekedar mengkongirmasi-apa rinai yang ia lihat sama dengan yang ia rasakan. Lalu ia kembali melanjutkan perjalanan, dan tersenyum.

Beberapa saat lalu,  kutemui dirinya terengah-engah.  Naik turun tangga, lalu kami kembali bertemu di tempat fotokopi, di sudut timur fakultas,  dia merapikan berkasnya.  Rasa-rasanya dia sedang riweh,  sedang buru-buru,  jemarinya ia ketukkan di atas meja saat petugas fotokopi lambat melayaninya.  Kemudian dengan pelayanan yang alakadarnya,  wajah super ketus,  petugas itu bilang,

"Uang kecil aja sih Mbak,  nggak ada kembalian. " sambil menyodorkan dengan kasar. Aku yang menyaksikannya saja ingin marah. Tapi gadis itu tersenyum.

"Nggak ada tah Mas.  Yasudah,  Mas bawa dulu saja uang saya.  Saya buru-buru. "

"Loh Mbak-" lalu dia beralih begitu saja. 

Esoknya aku bertemu lagi dengan gadis itu, di jalan penyebrangan dekat kampus.  Lagi-lagi dia sedang tersenyum membagi beberapa nasi bungkus dengan teman-temannya untuk lansia yang menggelandang disana.  Padahal sedang panas terik.  Padahal tas kantong kresek yang dibawa ditangan kanannya itu berat- tampak karena saking banyaknya nasi bungkus disitu.

Pernah kutemui juga dia di kantin, sedang berkumpul dengan beberapa sahabatnya.  Rupanya dia tak pernah sadar jika sedang ku amati.  Sambil menyuap beberapa sendok nasi,  ia mendengarkan sahabatnya bercerita dengan menggebu-gebu. Dia sesekali menimpali dengan tak kalah cerianya.  Lagi-lagi kudapati ekspresi yang sama,  dia tersenyum.

Pun saat dia jalan pergi ke parkiran..dia hanya terdiam melihat parkir yang tak beraturan. Sepertinya dia sedang berpikir dan menghela nafas panjang.  Gadis itu keberatan menggeser motornya sendiri,  butuh waktu yang cukup lama untuk mengeluarkan motor maticnya dari kerumunan motor.  Tapi dia tidak buru-buru keluar,  jarak dua motor di sebelahnya ada gadis lain yang tak sekuat dia.  Di letakkannya kembali motor matic warna merah miliknya,  dan dia berjalan kearah sana, membantunya.  Ya Tuhan!  Gadis ini... Lalu dengan sudut bibir yang sama,  dia tersenyum setelah semuanya usai. 
Kutelusuri dia di sosial media. Aku tau dia setelah aku bertanya pada temanku yang pernah kulihat bersamanya.  Kucatat benar namanya!  Aku mencoba mengakses akun-akun sosial medianya.  Tak ada satupun keluhan di akunnya.  Aku tau dia pasti sembunyi di balik kata bijak. Seolah yang dia punya hanyalah kebahagiaan.  Dia kembali memenuhi ruang dan waktu dengan senyumnya itu.

Aku sampai pada satu kesimpulan;  orang yang bisa mendengar keluh kesahnya, kesedihannya, menghibur lukanya,..pastilah beruntung.  Saat gadis itu menunjukkan lemahnya,  pastilah orang itu memiliki peran yang kuat dalam hidupnya. 

Dan itu bukan aku..

Andai dia tau,  aku juga ingin menguatkannya..

Minggu, 16 Oktober 2016

Sepertinya ada yang salah. Saat kita mengejar, tetapi tak tau apa yang dikejar.

Cita-cita?
Harapan?
Kisah Cinta?
Kebahagiaan? 

Haruskah hal-hal itu membuat kita menjadi hilang?  Lupa sama sekali dengn bentuk peduli paling kecil;  berbagi. 
Mungkin sederhana tetapi tidak  banyak orang punya waktu.  Untuk tidak mementingkan diri sendiri.  Untuk mencoba memberi arti.  Untuk menyadari.

Sesederhana, tidak semua keluarga baik-baik saja.  Sesederhana, tidak semua hubungan indah-indah saja.  Sesederhana, tidak semua pilihan hidup dan keinginan dapat diraih dengan mudah-mudah saja. 

Terkadang aku menghela nafas panjang, panjang sekali.  Mendengar.  Menyimak.  Memahami . Menemani. Selalu ada-ada saja masalah pelik tak terkira.  Tak kunjung ada selesainya. 

Hanya saja,  bukankah hal itu yang dapat aku lakukan saat ini? Atas kesadaran bahwa setiap kita pernah merasa lega meski hanya didengar tanpa ada perasaan tidak aman karena pernah dikoyak rasa percaya.  Sebagai sebentuk rasa syukur bahwa hidup masih baik-baik saja dengan waktu yang berkelimpahan. 

Lagipula hidup memang tidak sesederhana itu.  Hidup memang begitu. 

Ada banyak luka dan duka.  Ada banyak rasa tidak bahagia. 
Dan sebagai manusia,  selayaknya saling mengingatkan untuk kembali pada hal-hal sederhana.  Rasa cukup. Rasa syukur.  Rasa sabar. Rasa ikhlas...

Sebab,  bukankah setiap yang kita alami hanya sebentar?  Sebentar sedihnya, sebentar bahagianya, sebentar sakitnya, sebentar sekali..

Semudah itu, Allah mengubah hati kita...

151016

Rabu, 05 Oktober 2016

Do'a-do'a yang Tumbuh

Rasanya,  bisa menjadi seorang ibu adalah pelengkap fitrah bagi seorang perempuan.  Bagaimana tidak,  segala lelah,  kepayahan dan kesulitan yang dialami selama kurang lebih sembilan bulan belum lagi ditambah saat-saat ketika akan melahirkan-pertaruhan antara hidup dan mati- tak akan menyurutkan semangat dan suka cita yang akan ia rasakan, demi menjadi seorang Ibu, seseorang yang lahir dari rahimnya, yang akan memanggilnya "ibu"...

Bahwa kita adalah  do'a-do'a yang bertumbuh. Do'a-do'a dari sekian banyak orang yang mendoakan bahkan sedari dalam kandungan.  "Semoga janinnya sehat, lancar persalinannya, menjadi anak yang Shaleh(ah), menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua,  berguna bagi agama dan bangsa." Belum lagi do'a-do'a yang melantun deras dari Ayah dan Ibu di setiap waktu mereka.

Mengajarkan aku,  betapa setiap manusia pernah dan dulunya adalah do'a-do'a,  tidak ada seorang anakpun yang dikandung dan dilahirkan dengan do'a-do'a yang tidak baik. Termasuk kita..

Bertumbuh dan menjadi dewasa seharusnya juga menyadarkan bahwa kita punya pilihan untuk menjadi jawaban do'a-do'a.
Siapa yang tau, di belahan dunia entah yang mana,  ada orang-orang yang senantiasa mendoakan kita dengan tulusnya. Mana tega kita mematahkannya (?)


*Terimakasih Mamak,  Bapak,  kami tak ada apa-apanya tanpa do'a mu*

Tulisan ini bisa jadi merupakan hasil perjalanan dari Kakak yang kemarin (4 Oktober 2016) resmi menggenapkan fitrahnya :") Barakallah.. 😍❤❤
Selamat menjadi Ibu, kak..😍💞

perempuan dan anak-anak




Bagiku,  perempuan yang bersedia merelakan waktunya untuk membersamai anak-anak adalah kecantikan yang sebenarnya.  Perempuan yang rela memberikan waktunya untuk mengurus mereka,  mengajarinya dengan sabar,  memeluk mereka ketika menangis, menggandeng tangan mereka,  dan mengajarkan hal-hal baik.  Karena yang demikian itu tak banyak yang tulus.  Karena ketulusanlah yang melahirkan setiap mili-energi yang menyusun kata-kata,  menegakkan kaki untuk melangkah dan melembutkan tangan untuk menyentuh mereka.
Bagiku sisi paling menarik seorang perempuan ada di dalam hubungan-hubungan emosinya terhadap orang lain.  Kesantunan dan kelembutan hatinya terlihat saat berinteraksi dengan orang tua dan anak-anak.  Kecantikan yang melampaui kualitas bedak dan gincu,  melapaui model pakaian terkini,  melampaui segala khasiat pemutih,  pelangsing dan lulur mandi.
Perempuan diantara anak-anak itu bidadari,  sebab anak-anak selalu jujur terhadap perasaannya.  Dengan siapa mereka nyaman dan tidaknya, dengan siapa mereka mau dekat dan tidaknya.
Selalu cantik,  perempuan yang bisa menggerakkan hatinya  untuk hadir dalam urusan anak-anak.

Minggu, 02 Oktober 2016

Percaya dan Mempercayakan


Pada beberapa hari yang lalu.  Ketika aku selesai memarkirkan motorku di pelataran sebuah Toko Buku, aku menyaksikan orang-orang memberikan tas-tas mereka kepada petugas penitipan.  Aku berpikir sesuatu yang mungkin sadar atau tidak menjadi refleksi dalam hidup yang aku jalani.  Tentang satu hal yang mungkin sering luput,  yaitu tentang percaya dan mempercayakan.
Mengapa bagiku kata sifat "percaya" harus diikuti dengan kata kerja "mempercayakan"? Banyak hal dalam hidup telah mengajarkan dan menunjukkan bahwa kedua hal ini tidak seharusnya dipisahkan.  Lihatlah betapa para penitip tas itu sejak awal mempercayakan tasnya untuk dititipkan. Alhasil,  dia tidak perlu khawatir dan memikirkan bagaimana nasib tasnya di tangan orang lain itu. Ada sikap mempercayakan yang membuatnya yakin bahwa barang yang dia titipkan akan baik-baik saja.

Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah sebagai Maha Pencipta,  hal ini menjadi renungan yang baik.  Banyak diantara kita yang masih sebatas percaya kepada Allah tapi tidak mempercayakan hidup kita kepada-nya.  Kita mempertanyakan dan mengkhawatirkan banyak hal dalam hidup yang sebenarnya--apabila kita mampu mempercayakan hidup kita kepada-Nya--kita akan baik-baik saja dan kita akan selamat.
Mengapa aku berani mengatakan bahwa banyak yang percaya kepada Allah tapi tidak berani mempercayakan?  Lihatlah betapa banyak orang sangsi tentang masa depannya.  Mengenai urusan jodoh, misalnya.  Orang baik tentu akan bertemu dengan orang baik pula.  Namun sedikit yang percaya mengenai hal itu.  Maka ramailah orang-orang tersebut bermain perasaan dengan berdekat-dekat secara intens kepada orang lain (pacaran).  Ketakutan tentang kalau tidak begitu (pacaran)  nanti tidak dapat-dapat jodoh.  Ini pikiran masyarakat umum.

Ya,  kita percaya kepada-Nya,  tetapi tidak bisa mempercayakan hidup kepada-Nya.  Pun dalam urusan lain-urusan lain dalam hidup ini, kita baru pada sebatas percaya kepada Allah. Percaya bahwa Dia ada.  Namun kita banyak mempertimbangkan ketika kita ingin mempercayakan hidup kita kepada-Nya. Banyak kekhawatiran,  banyak asumsi,  banyak spekulasi dan banyak syarat yang kita buat.
Ketika apa yang Allah berikan ternyata tidak sesuai dengan harapan atau ekspektasi kita,  maka kita mulai mundur satu langkah dari sikap mempercayakan ini,  dan berakibat pada turunnya tingkat kepercayaan kita kepada-Nya dalam hal-hal yang lain.

Mari kita sama-sama koreksi diri jika kita sudah mengakui percaya kepada Allah.  Sejauh mana kita bisa  mempercayakan hidup kita ini di tangan-Nya?  Tentang masa depan kita,  tentang jodoh kita,  tentang hal-hal yang sampai saat ini mengganggu pikiran kita dan membuat kita tidak tenang dalam menjalani hidup. 
Bisa dibanyangkan dalam cerita di atas, seandainya jika para pemilik tas sudah menitipkan barangnya dan ternyata tidak memiliki sikap mempercayakan sepenuhnya.  Bisa jadi ketika berbelanja,  dia tidak akan "khusyuk" dengan buku yang ia cari Karena terus kepikiran tasnya; apakah tidak apa-apa, apakah tidak akan dibawa orang tadi, apakah tidak rusak,  apakah isi di dalam tas akan tetap sama,  atau bagaimana bila hilang. 
Kekhawatiran kita dalam hidup mirip seperti itu.  Sudahkan kita mempercayakan hidup kita kepada Allah?  Dan sejauh mana kita sudah berikhtiar untuk hidup kita?  Allah menjamin banyak hal dalam hidup,  dan kita diminta untuk berikhtiar dengan sebaik-baiknya.
Ketika kamu percaya untuk menitipkan tasmu dan kamu memiliki sikap mempercayakan, penjaga tas akan senang dan dia hanya ingin kamu berbelanja/memilih buku dengan "khusuk" dan tenang tanpa memikirkan tentang tasmu sama sekali.  "Berbelanjalah dengan tenang, aku akan menjaga tasmu ini dengan baik serta menjaminnya.  Aku akan memberikannya jika kamu sudah selesai berbelanja" mungkin seperti itu bahasa yang dikatakan oleh penjaga tas.

Allah akan memberikan jawaban-jawaban atas sikap mempercayakan kita kepada-Nya.  Allah menyukai hamba-Nya yang berserah diri.  Berserah diri adalah bentuk kata lain dari mempercayakan hidup sepenuhnya tanpa keraguan sedikitpun pada sesuatu yang kita percayai.  Ikhtiarkan hidup kita sebaik-baiknya dan titipkan hidup kita ini kepada-Nya.

Hingga pada suatu saat kamu benar-benar bisa mengatakan "Aku telah mempercayakan hidupku kepada Allah, aku tau Dia adalah sebaik-baik penjaga dan sebaik-baiknya dalam menepati janji"





Selamat tahun baru hijriah.  Semoga ini benar-benar menjadi awal yang baik.. ❤❤









Selasa, 27 September 2016

Bertanya Pada Diri Sendiri


Dulu aku tak terlalu tau soal ini,  bahkan aku menganggap topik ini sangat egois. Masih banyak urusan lain yang harus diurus, kita tak boleh melulu berpikir tentang diri sendiri.

Tapi,  makin kesini aku makin sadar. Kebermanfaat aku di masyarakat juga perlu diimbangi dengan manajemen diriku sendiri.

Ada satu titik diamana, jika kita tak benar-benar tau apa yang kita mau,  kita tak benar-benar melangkah maju.

Ada teman yang skripsinya selesai lebih dulu, kita bingung.  Ada teman yang jodohnya datang lebih dulu,  kita cemburu.  Ada teman yang prestasinya melaju, kita bahkan dengan kemampuan diri-kian ragu.
Lalu  sebenarnya kita ini... Maunya apa?

Padahal kita ini hanya harus melawan diri sendiri. Egoisme,  gengsi,  kemalasan,  ketidakfokusan dan abcde yang lain,  yang sumbernya ada dalam diri sendiri.

Kita perlahan harus mulai menata,  untuk lebih tau apa yang sebenarnya diri kita butuhkan,  apa sebenarnya mimpi kita,  apa yang membuat diri kita jadi ladang manfaat untuk orang-orang disekitar.
Maka sejatinya setelah itu kita jadi lebih mudah memetakkan.  Mana langkah yang seharusnya dimantapkan,  mana yang tidak linear dengan fokus,  dan mana yang sekiranya banyak mudharatnya.

Kitalah nahkoda kapal yang kita naiki sendiri!  Meski ombak dan anginnya menakutkan 😁😁

Kita tidak akan pernah tau seberapa menakutkannya hidup yang bakal kita jalani kedepan,  tapi lebih menakutkan lagi kalau kita tidak pernah mencoba memperjuangkanapa yang kita perjuangkan sedari dulu.

Tanyakan sekali lagi pada diri sendiri;  hidupmu akan digunakan untuk apa?  Kamu ini siapa?  Maunya apa?  Rencana kedepannya bagaimana?  Cara mencapainya seperti apa?  Sebelum yang tanya... Malaikat Raqib dan Atid... Hehehehe


Ps: lebih harus dilawan lagi diri ini, kalau hidup dan tujuannya teramat jauh dari Tuhan... ❤❤❤

Kamis, 22 September 2016

Saat-saat dimana kita sadar,  bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan tidak sama sekali bergantung pada uang yang ada dalam genggaman,  bukan pada seseorang yang ada disisi Setia menemani,  bukan pada jabatan yang mampu membuat kita di hargai,  bukan pada aksesoris duniawi yang memanjakan mata.  Bukan..

 | ternyata kita semakin bahagia,  kala kita semakin sadar bahwa kita beruntung bersandar pada Rabb yang Maha Kaya.  Dan semakin sadar bahwa semua yang hadir dalam hidup adalah amanah,  bukan menjadi milik.  Pada hati yang selalu merasa cukup,  dengan hanya bersandar pada Nya,  selalu merasa yakin bahwa cukup dengan mempercayakan pada Nya semua akan baik-baik saja :)

Ada Alloh,
 percayalah,  semua akan baik-baik saja.. :) |



Juma'at,  23 September 2016, di bawah langit Mataram.. 
Mungkin,  hujan adalah penghubung antara langit dan bumi.
Iya jatuh dari langit,  memberi Rahmat kepada Bumi. Menyuburkan apa-apa yang gersang, memberi harapan-harapan baru pada yang sebelumnya tandus.
Dan bersamanya do'a-do'a akan terijabah, bukan?


Selamat hujan-hujanan. Jangan menghindar, hujan itu rahmat :)

Jumat, 09 September 2016

Hallo Ma, Apa kabar?

Hallo Ma,  Mama disana lagi apa?  
Semoga sedang senyum,  senyum nyenengin ala Mama;  mata besar,  bibir memanjang ke kiri dan kanan ada kelihatan gigi di tengah sedikiit yang buat tanda lahir dipipi Mama jadi kembung cantik.. 😊
Sadar kok sekarang kita memang  udah nggak bisa saling cubit-cubitan lagi,  tidur bareng menjelang magrib ngerumpiin ini itu,  nggak bisa gedor-gedor pintu kamar iin, one, iwe kalau telat bangun,  nggak bisa dengerin remonanya mama kalau kita suka taroh barang sesuka hati dan yang paling bikin kangen itu mamak yang selalu nunggu iin pulang,  nyabut iin depan pintu rumah dengan wajah sumringah trus bilang "alhamdulillah  Ana, syukur cepat pulang, jadi ada yang masak.." heheh.. Aneh ya Ma, dulu kata-kata itu kayak nerima berton2 beras buat dipukul setelah berton-ton beras dari kampus sekarang malah itu yang dikangenin. 
Nggak terasa ya Ma,  udah mau 2 tahun aja,  dan Mama tau?  Selama 2 tahun ini Bapak masih buat iin one iwe, maaf ya Ma, iin pernah coba-coba comblangin Bapak, tapi perempuannya nggak mau 😂^-^V Bapaknya juga ogah 😁, sampai akhirnya iin pernah nanya ke Bapak;
"Bapak kenapa ndak mau nikah lagi?"
"Bukan ndak mau,  cuma susah senangnya Bapak itu ada sama Mamakmu"
Pembicaraan selesai sampai disitu,  iin nggak mau tanya-tanya lagi, kalau katanya kak fit, "cukup tau saja". 

Mama tau?  Kalau sampai hari ini Bapak masih suka nangis kalau cerita tentang mama,  dan selalu di awali dengan kata "Dulu mamakmu itu... Bla bla bla"  awalnya ketawa sih,  tapi akhirnya pasti nangis lagi,  ngusep air mata lagi,  atau kadang Bapak suka sok-sokannya laki-laki, malu ketauan nangis 😊..

Iin inget dulu,  gimana mama waktu tau Bapak pulang, biar sakit-sakit, ndak kuat gerak,  jalan aja mesti di "denden", kalau ngomong suaranya diputus-putus sama asma bilang;  "siapkan Makan Bapaknya sana, kasihan Bapak capek,  perhatikan makan Bapaknya".. Mama lagi sakit lho itu.  Dan lucunya kalau Mama sama Bapak lagi berantem,  nggak sapaan, Mama masuk kamar kita,  sodok-sodok kita sambil bisik bilang;  "siapkan Makan Bapaknya sana,  telat makan Bapaknya nanti sakit".. Atau moment ini,  Mama yang selalu nunggu Bapak pulang dan Bapak ngasi Mama semua Rupiah hasil ngojeknya seharian dan Mamak selalu bilang "Alhamdulillaah... Ada uang buat beli ikan besok *sambil senyum sumringah dan cium uang*" So sweet sekalii rasanya kalau diinget-inget lagi.. 

Mama tau?  Iin kadang selalu ngebayangin kalau Mamak dengerin curhatannya iin,  galon-galonnya iin,  tentang serba-serbinya iin di usia 24 tahun,  taukan apa?  😁
"Kapan ni***h? " gimana ya responnya mama kalau denger orang-orang deket rumah tanyain iin pas ada mama di sampingnya iin?  Biar sebenernya iin udah tau jawaban plus responnya mama gimana..  😊

Karna iin ini perempuan,  yang setelah menikah jelas harus ikut sama laki-laki. Tentang kriteria yang dulu mama dan bapak sebutin dari abc sampai znya,  iin berusaha mengerti bahwa setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya,  ingin memastikan bahwa ketika tanggungjawab itu berpindah tangan,  anak mereka berada pada tangan seseorang yang tepat, tangan seseorang yang bisa memastikan bahwa ditangannya anak perempuan mereka akan baik-baik saja,  seperti apa yang telah mereka lakukan selama bertahun-tahun.


Huuumm...  Iin mungkin nggak akan pernah bisa mengerti bagaimana perasaan Bapak waktu iin cerita si ini dan si itu,  atau waktu si ini dan si itu memberanikan diri datang kerumah,  yang bisa iin lihat waktu itu wajah bapak suka jadi "aneh" aja ma,  heheh..  Mungkin bener kata Mas Gun;  bagi para ayah,  setiap laki-laki adalah perpampok dalam hidup mereka,  bagaimana nggak, laki-laki yang antah berantah sudah berani-beraninya membuat anak perempuan mereka jatuh, cinta lagi dan akan membawa anak perempuan yang mereka besarkan selama bertahun-tahun pergi begitu saja.. :)


Semakin kesini,  iin makin mengerti kalau kebaikan hati, keluhuran budi, kecerdasan dan segala sesuatu yang bersifat karakter itu jauh lebih menarik daripada kecantikan atau ketampanan yang melekat kepadanya.
karakter itu lebih kuat, sebab ia dibentuk dari bertahun-tahun ujian hidup, ilmu pengetahuan yang diserap, lingkungan & didikan orang-orang baik. sementara kecantikan & ketampanan itu bisa dibuat dalam sehari. Dan secepat itu ia hilang oleh waktu.. :)


Mama doakan iin ya semoga Alloh pertemukan iin dengan orang-orang yang baik dan menyisakan satu saja orang baik itu buat iin :)


Minggu, 04 September 2016

"Sesuatu yang berharga nggak dicapai dengan cara yang mudah.  Perlu waktu, perlu perjuangan.  Nangis aja,  nangis sampai habis.  Asal langkah nggak boleh sampai pada kata menyerah"


        -Semangat berproses,! Istirahat kalau lelah,  habis itu lanjut lagi.  Sampai titik darah penghabisan,  ya... 😊




*Hujan pertama Bulan September di langit Mataram*


Jumat, 02 September 2016

"Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." _Qs. Ali Imran : 159_

       | jiwa dan hati yang tenang adalah hal yang penting menjadi.     modal utama dalam menjalani perubahan kehidupan.  Meski secara fisik tubuh kita sehat,  jika hati dan fikiran masih berfokus pada hal yang membuat keresahan dan kekecewaan.  Tentu akan sulit tercapai...


 Jika sudah membuat keputusan,  mintalah kepada Alloh,  untuk meneguhkan hati, bersabar dan kuat dalam ikhtiar, sebab Ia sangat mudah membolak-balikkan hati... :) |

Malam di langit Mataram

Minggu, 28 Agustus 2016

Benang Layang-layang


Layang-layang mampu terbang tinggi jika didukung oleh benang yang berkualitas baik. Jika tidak, bisa putus layang-layang terbawa angin entah kemana.  layang-layang membutuhkan benag agar ia dapat terbang. Tanpa benang, ia hanya akan tersentak ke atas tanah dan menjadi sampah.
Benang berkualitas tentu saja harganya lebih mahal dari benang biasa. Tidak kalah meski diadu dengan benang yang lain memutuskannya. Layang-layang dan benang adalah sepasang jodoh yang dari sana telah ditakdirkan berpasangan.
Namun, ada juga layang-layang  yang hanya mampu terbang rendah, benangnya tak cukup bagus untuk mehanannya terbang lebih tinggi. Ada pula layang-layang  yang kemudian putus. Benangnya tidak mampu menahan layang-layang  itu untuk tetap teriikat, ia kalah oleh kuatnya angin.
Ada juga yang bermain adu layangan. Saling bergesekan benang dan lagi-lagi sala satunya putus, bercerailah antara benang dan layang-layang. Layang-layang yang kalah tak akan lagi berharga, benang yang kalah tak akkan lagi dipakai. Disimpan, menjadi usang atau dibuang.
Namun, ada pula layang-layang yang mampu terbang tinggi setinggi-tingginya dan benang-benang mampu menjaganya terbang dengan tenang. Begitu gagahnya layang-layang dipuji akan ketinggiannya, tapi siapa yang lupa, aku atau kamu. Layang-layang dapat setinggi itu tentu dijalin oleh benang yang sangat bagus. Aku penasaran, benang seperti apakah gerangan yang digunakan untuk laying-layang?
Ibu menghentikan ceritanya.
“Kau tahu putriku sayang, laki-laki adalah layang-layang dan perempuan adalah benang. Tanpa perempuan, laki-laki tak akan menjadi apa-apa. Dibalik ketinggian atau kesuksesan laki—laki, ada kita. Putriku, jadilah benang yang berkualitas terbaik. Buatlah layang-layangmu kelak terbang setinggi-tingginya, karena setinggi apapun dia terbang, dia selalu terikat olehmu dan akan bergantung denganmu. Jagalah dia agar dia tidak putus dan hilang arah. Ingatlah bahwa layang-layang  selalu ingin terbang tinggi.”

Ibu tersenyum, aku mengangguk. Aku berjanji akan menjadi sebaik-baiknya benang untuk layang-layangku.

Minggu, 17 Juli 2016

Bersabarlah Sedikit Lagi


Hari-hari kemarin (ramadhan) adalah tentang melepaskan. Melepaskan ego, melepaskan ambisi, melepaskan kekhawatiran, juga melepaskan kesedihan. Untuk bisa merasakan bagaimana lapangnya hati sendiri. Merasakan betapa kesabaran itu benar-benar manis buahnya.
Betapa mengosongkan hati dari segala hal itu memang perlu. Kemudian menyiapkannya untuk diisi kembali dengan hal-hal baru. 
Begitu banyak orang yang kehilangan sabar, kemudian kehilangan lebih banyak lagi. Orang yang dicintainya, pekerjaan yang ditunggu-tunggu, kesempatan yang hanya datang sekali, semuanya ikut hilang beserta hilangnya sabar. 
Bukankah kebaikan-kebaikan itu hidup karena kesabaran? Bagaimana mungkin kebaikan bisa bertahan lama bila kesabaran itu hilang di tengah masa perjuangan? Kesabaran menyempurnakan kebaikan itu, sebab kesabaran adalah nafasnya.
Betapa banyak niat baik berhenti ditengah jalan karena hilangnya sabar. Betapa banyak orang yang sudah lelah menunggu kemudian menjadi kehilangan karena hilangnya sabar. Betapa banyak penyesalan yang lahir karena ketidaksabaran.
Waktu dan kesabaran adalah sepasang ujian. Kesabaran itu pasti memerlukan waktu. Dan aku memahami bahwa kesabaran itulah yang membuatku bisa merasakan bahwa Allah benar-benar menyertai orang-orang yang bersabar.
Bersabarlah, sedikit lagi. Atau kita akan kehilangan.


Iin Wahyuningsi
Rumah, 6 Januari 2019