Ada banyak cerita yang aku temui dalam beberapa hari terakhir. Hasil dari perenungan sepanjang jalan, bertemu dan mengamati orang, berdiskusi dan dari bacaan yang terkumpul. Tulisan ini sempat tertahan beberapa hari demi menunggu beberapa pemahamannya menjadi utuh, menjadi sebuah kesatuan makna yang bisa aku tarik pembelajaran terbaiknya.
Beberapa waktu belakang ini, aku belajar kembali tentang pemaknaan manusia terhadap surga. Di saat aku menyaksikan event-event kekinian yang menjanjikan “surga” sebagai propaganda demi mendapatkan banyak peserta acara. Aku berusaha memaknai kembali, bagaimanakah surga yang menjadi tujuan dari umat manusia ini.
Aku berusaha mendalami dengan perjalanan, menemui sebanyak mungkin orang dan melihat sorot matanya. Berusaha menyelami kehidupan dengan semua perspektif yang disediakan, dengan semua sudut pandang yang memungkinkan untuk aku pakai. Sampai-sampai aku sendiri menangisi pemikiranku selama ini, betapa piciknya pikiran ini dengan segala isinya. Kalau ada cara bagaimana mereset sebuah pikiran, ingin sekali aku menghapus isi kepala ini, aku tidak suka isinya. Dengan bagaimana selama ini pikiran begitu mudah melakukan penghakiman.
Diperjalanan aku menemukan bahwa surga dimaknai berbeda dari satu orang ke orang yang lain, makna yang berbeda membuat setiap orang juga melakukan cara-cara yang berbeda untuk meraih surga itu.
Saat di kota, di komunitas masyarakat urban. Aku gembira menemukan semangat gelombang hijrah (dalam agama yang aku imani). Begitu banyak orang berbondong-bondong melakukan perubahan baik. Surga yang kabarnya tidak akan tercium oleh perempuan yang berpakaian tapi telanjang, membuat gelombang hijrah yang luar biasa. Surga itu seperti bisa diraih dengan jalan tersebut.
Dan di saat yang sama, hanya beberapa ratus meter dari pusat keriuhan acara-acara berlabel hijrah. Surga itu sesederhana seorang bapak yang mendorong gerobak sampahnya, pulang menjelang maghrib dengan membawa seplastik beras hasil mencari rezeki hari ini. Itulah jihadnya. Tidak sempat hadir dipikirannya tentang bagaimana mengubah penampilannya agar sesuai dengan konsep surga yang dimaknai oleh teman-temanku yang lain, yang rela mengeluarkan lebih banyak hartanya untuk membeli pakaian dengan segenap propaganda kehijrahannya.
Ada konstruksi pikiran yang berbeda, ada pemaknaan yang berbeda. Perjalanan ini membuat aku percaya satu hal bahwa Allah itu Maha dalam segala ke-MAHA-annya. Aku percaya bahwa setiap manusia itu akan mencapai surganya dengan ridho Allah. Dan surga itu tidak akan pernah bisa dimonopoli oleh segilintir orang dan golongan, tidak juga hanya bisa diraih dengan jalan-jalan yang serupa seperti yang tengah tren saat ini..
Setiap orang akan dimudahkan dalam beribadah, juga disediakan ladang ibadahnya sendiri. Ladang-ladang amal yang mungkin tidak akan pernah bisa dipahami oleh orang lain. Dan aku hanya bisa menangis saat aku berusaha membeli sebuah baju muslim baru dengan harga ratusan ribu, sementara di perjalanan pulang aku menyaksikan sepasang manusia, bekerja berdua mencari rezekinya. Saat kami sama-sama berhenti di sebuah masjid karena maghrib sudah menjelang. Ibu dengan jilbab seadanya, dengan baju lengan pendeknya, dan celana panjang yang lusuh. Dan suaminya yang mendorong gerobak berisi tumpukan kardus. Pikiranku ternyata benar-benar picik, aku mengira surga itu hanya bisa diisi dengan orang-orang pakaian syari terkini. Harus menghafal semua isi kitab suci, atau harus mengikuti semua kajian. Maka, aku harus benar-benar bersyukur karena diri ini dimudahkan dalam beribadah, tidak harus mengalami kehidupan yang sulit dalam hal rezeki (materi). Karena ada orang-orang yang tidak memiliki ruang dan rezeki untuk menikmati ibadah-ibadah itu.
Setiap orang sedang berjuang dalam hidup ini, berjuang yang terbaik. Untuk meraih surga-Nya. Sebuah tempat terbaik untuk pulang nanti, sesudah mati.
Dan ternyata surga itu begitu
dekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar