Kamis, 15 Desember 2016

Cerpen : Titipan


Sudah berhari-hari lamanya beliau berdiam diri dari balik pagar tanaman rumahnya. Duduk diteras dengan syal putih yang melilit lehernya, kerudung hitam yang menyelimuti kepalanya seperti tidak pernah berganti. Sudah berhari-hari lamanya pula aku menyapa beliau setiap kali lewat, menawarkan sayur, cabai, dan segala macam bahan makanan. Beliau adalah pelangganku yang biasanya memesan berbagai macam sayuran setiap hari.
Aku berjalan sambil tersenyum, menawarkan daganganku pagi ini. Suaminya yang duduk di sebelah beliau menolak dengan mengayunkan tangan sambil tersenyum. Ini sudah berhari-hari lamanya beliau tidak membeli sayuranku lagi. Aku mendorong gerobak sayur menuju dua tiga rumah tetangga beliau. Berhenti.
Ibu-ibu keluar seperti biasa. Dan aku membiarkan mereka memilih sendiri apa yang mereka inginkan. Sesekali bertanya kabar, sesekali berbagi rezeki.
“Kasihan ya Ibu Dias,” salah seorang diantara ibu-ibu yang mengerumuni gerobak sayurku berceletuk. Ibu-ibu yang lain mengangguk, tanda setuju. Namun, tidak bersedia meneruskan obrolan itu.
Anak perempuan semata wayang keluarga ibu Dias meninggal beberapa minggu yang lalu. Mungkin sudah hampir sebulan. Anak satu-satunya yang menjadi harapan besar itu pergi selama-lamanya dari kehidupan dunianya. Seolah-olah tercerabut seluruh sumber kebahagiaan beliau. Suami beliau tampak begitu tegar dan sabar. Setiap hari, setiap pagi, menemaninya duduk di teras rumah sambil berusaha mengajaknya berbicara.
Entah bagaimana rasanya menjadi orang tua seperti beliau. Mungkin selama ini kita semua berpikir bahwa akan ada kesempatan untuk merawat kedua orang tua saat tua nanti. Hanya saja, kita lupa barangkali usia kita tidak lebih panjang dari kedua orang tua kita. Aku pun, tidak memiliki kesempatan sebab sejak kecil memang tidak pernah sempat berlama-lama dengan orang tua. Keduanya sudah meninggal sejak usia 7 tahun dan setelah itu kehidupanku berlangsung di panti asuhan.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya saat anak satu-satunya yang beliau miliki pergi begitu saja. Bahkan belum sempat pamit, belum sempat berpelukan, belum sempat menyampaikan sepatah dua patah kata wasiat. Anak itu pergi begitu saja, meninggal sebab kecelakaan lalu lintas di jalan raya.
Aku kembali berjalan ke arah rumah ibu Dias yang terletak persis setelah gerbang perumahan setelah ibu-ibu selesai berbelanja. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah suami beliau. Memang sulit membayangkan bagaimana perasaannya. Aku pun teringat kepada anak pertamaku di rumah, rasanya tidak ikhlas bila Tuhan tiba-tiba mengambilnya. Padahal aku tahu benar bahwa anak bukanlah milikku seutuhnya, ia adalah titipanNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar