Sabtu, 31 Desember 2016

Tidak ada yang perlu disesali dari kian banyak kisah yang terurai, sebab semua pasti ada hikmahnya, ada tujuannya, ada maksudnya. Sebab yakinku, Allah itu baik sekali, teramat baik.. ❤❤

Terimakasih untuk nano-nanonya tahun 2016.. 😊
Targetnya? 
Semoga tahun depan udah jadi pendampingnya seseorang *eh?? 😁😁

Dan malam ini, Kita tutup cerita dan segala serba-serbinya yah,. 🔨📆❤❤

Terimakasih untuk kesekian kalinya..   

Semoga Allah selalu menjadi yang pertama..

Rumah,  31 Desember 2016

Sabtu, 24 Desember 2016

12:25

Dari sekian banyak yang datang dan pergi dalam hidup, kemudian menetap, kenapa harus kamu?

Pertanyaan yang sempat terlintas untuk kemudian menemukan jawaban..

Adalah perasaan yang entah bagaimana, bersama kamu, aku bisa tertawa selepas-lepasnya,.

Adalah perasaan yang entah bagaimana, bersama kamu, aku bisa bercerita dari ini-itu-nya hidup tanpa harus khawatir akan dihakimi atau dikhianati..

Adalah perasaan yang entah bagaimana, bersama kamu, aku bisa ngelap air mata di jilbab panjang kamu, tanpa harus jaim-jaiman ala ala..

Aneh nggak sih...?

Bagiku aneh,. Rasa aneh yang dimulai saat tau ternyata tanpa janjian mau pake baju warna apa, eeh pas ketemu saling ketawa, saling heran, "kok warna jilbabnya sama??! " atau "kok warna bajunya sama??!" "hayoooo ngintipin saya yaa??" dan pertanyaan itu lahir bukan dari satu dua kejadian, tapi SERING...

Anehnya lagi, saat kamu atau aku mulai bercerita kemudian ditimpalin dengan kata "saya juga ngerasain hal yang SAMA" , kemudian sama-sama saling menguatkan, sama-sama saling nyemangatin atau saat kita sama-sama menyatakan dengan sadar bahwa kita mulai berkhianat pada warna biru kemudian memilih warna yang dulunya kita bully habis-habisan, misalnya? *Sehati sekaliii ❤❤*

Dan lebih aneh, saat buka sms atau WA yang pernah sampai seratus pesan lebih, pas dibuka pesannya dari kamu atau aku yang isinya ternyata abal-abal, bukan sekali dua kali, tapi sering. Dan hasilnya kita jadi puasa smsan selama dua hari karna pesan nggak bisa terkirim ke siapapun padahal pulsa masih banyak, saat itu aku yakin kalau operatornya bisa jadi empet sama kita yang ababil banget.. 😂😂

Bisa sampai segitunya, Kan aneh ya...

Tentang Perasaan dan keanehan yang melahirkan rasa syukur sebab kita hanya akan melakukan hal-hal itu tentu bukan pada sembarang orang.

Hingga menemukan kenyataan bahwa kita akan benar-benar menjadi diri kita saat kita telah benar-benar menemukan tempat yang membuat kita merasa begitu nyaman, dan tempat itu mampu menampung dan melengkapi kita dengan ke-apa-ada-an-nya kita.

Terimakasih untuk kesekian kalinya,  terimakasih buat sabarnya kamu ngadepin akunya yang kayak gini. Untuk setiap "ruang terbuka hijau" yang selalu kamu sediakan saat aku ingin ini itu banyaaak sekali (jadi nyanyi, ya?😁) ...

Dan hari ini? Alhamdulillah Allah masih hadiahkan kamu buat aku, Allah lebihkan kesempatan untuk pundi-pundi keberkahan yang masih diizinkan...
Selamat ulang tahun ayaang, semoga umurnya berkah, makin baik hubungannya dengan Allah, makin semangat buat tebar kebermanfaatan dan Allah mudahkan jalan menuju nikah... 😁❤❤ *aamiin Allohumma aamiin*

Untuk Siti Zahra alias Zahra ar-rahma alias kesayangan Zahra,.

Di Tempat (hatiku ❤)


Rumah, 25 Desember 2016

Jumat, 23 Desember 2016

Ketika seseorang pergi dan meni ggalkan kita, semua jelas tidak lagi sama. Ada hal-hal manis yang dibawa serta, menyisakan kenangan yang tak akan hilang termakan waktu yang menyisakan perasaan rindu yang tak bisa dibagi dengan siapapun, cukup dirasakan sendiri.

Kepada setiap hal yang begitu ampuh menjadi alarm pengingat, membuat setiap kenangan seperti terjadi kembali hingga begitu manis untuk di ceritakan lagi. Pun hingga hari ini, menggenap dua tahun setelah kepergian seorang yang do'anya amat dimakbulkan Allah, seorang bidadari yang surga berada di telapak kakinya.
Brusaha mencari hikmah dari semua ini. Keyakinanku bahwa tidak satupun terjadi tanpa maksud kebaikan dari_Nya..

Setelah dua tahun. Ma, iin boleh minta peluk?  Peluk dari jauh juga nggak apa-apa, iin rindu...

Rumah.
Menjelang 24 Desember 2016

Selasa, 20 Desember 2016

Tulisan: Laki-laki Aneh

Aira : Yu!  Aku menemukan spesies laki-laki aneh!

Wahyu : Macam mana?

Aira : Dia bilang ke orang-orang kalau dia ingin mendekati seseorang,  tetapi nyatanya dia tidak berusaha melakukan pendekatan apa-apa

Wahyu : Kamu tau?  Laki-laki juga ada yang tipikal apa-apa harus selesai dipikir sebelum benar-benar dilakukan.

Aira : Maksudnya?

Wahyu : Bisa jadi,  laki-laki itu ingin langsung serius.  Dan, perempuan yang ingin dia dekati juga bukan tipikal yang bisa sembarangan di dekati.  Perlu langkah hati-hati,  agar tidak perlu lagi menambah luka hati

Kamis, 15 Desember 2016

Tulisan : Terima


Kurasa, kita lebih membutuhkan penerimaan daripada pengakuan. Kita lebih membutuhkan orang yang bisa menerima kita, bagaimanapun kekurangan kita saat ini juga hari-hari yang telah terlewati. Bukan mencari orang yang bisa melengkapi setiap sisi kekurangan itu, melainkan orang yang bisa menerimanya dengan hati yang terbuka dan senyum yang mengisyaratkan kepada kita; jangan khawatir.
Kita butuh orang yang bisa menerima segala hal yang selama ini kita khawatirkan, termasuk kekhawatiran kita bahwa kehadiran kita tidak bisa mengutuhkan kekurangan orang lain.
Penerimaan adalah tentang kelapangan hati. Bahwa sisi manusiawi seorang manusia akan selalu ada, akan selalu saja ada hal-hal yang tidak kita sukai darinya meski hanya satu atau dua. Karena setiap kita kelak hanya akan bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan, kemuliaan kita juga tidak pernah tergantung pada orang lain.
Memiliki hati yang bisa menerima adalah sebuah anugerah. Karena dengan demikian, hidup kita akan menjadi lebih mudah. Kita menjadi lebih berempati atas kekurangan orang lain, tidak juga menjadi hakim atas dirinya.
Kalau kita bisa menerima seseorang apa adanya, itu akan membantunya bisa menerima dirinya sendiri. Memunculkan rasa percaya dan keyakinan, juga kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya akibat kekhawatirannya pada pertanyaan tentang adakah orang yang bersedia menerima dirinya, kalau dia menunjukkan dirinya yang sesungguhnya?
Dan kalau kita bisa dan bersedia, jadilah jawaban dari pertanyaannya itu.


Mataram, Januari 2017

Surga yang Dekat


Ada banyak cerita yang aku temui dalam beberapa hari terakhir. Hasil dari perenungan sepanjang jalan, bertemu dan mengamati orang, berdiskusi dan dari bacaan yang terkumpul. Tulisan ini sempat tertahan beberapa hari demi menunggu beberapa pemahamannya menjadi utuh, menjadi sebuah kesatuan makna yang bisa aku tarik pembelajaran terbaiknya.
Beberapa waktu belakang ini, aku belajar kembali tentang pemaknaan manusia terhadap surga. Di saat aku menyaksikan event-event kekinian yang menjanjikan “surga” sebagai propaganda demi mendapatkan banyak peserta acara. Aku berusaha memaknai kembali, bagaimanakah surga yang menjadi tujuan dari umat manusia ini.
Aku berusaha mendalami dengan perjalanan, menemui sebanyak mungkin orang dan melihat sorot matanya. Berusaha menyelami kehidupan dengan semua perspektif yang disediakan, dengan semua sudut pandang yang memungkinkan untuk aku pakai. Sampai-sampai aku sendiri menangisi pemikiranku selama ini, betapa piciknya pikiran ini dengan segala isinya. Kalau ada cara bagaimana mereset sebuah pikiran, ingin sekali aku menghapus isi kepala ini, aku tidak suka isinya. Dengan bagaimana selama ini pikiran begitu mudah melakukan penghakiman.
Diperjalanan aku menemukan bahwa surga dimaknai berbeda dari satu orang ke orang yang lain, makna yang berbeda membuat setiap orang juga melakukan cara-cara yang berbeda untuk meraih surga itu.
Saat di kota, di komunitas masyarakat urban. Aku gembira menemukan semangat gelombang hijrah (dalam agama yang aku imani). Begitu banyak orang berbondong-bondong melakukan perubahan baik. Surga yang kabarnya tidak akan tercium oleh perempuan yang berpakaian tapi telanjang, membuat gelombang hijrah yang luar biasa. Surga itu seperti bisa diraih dengan jalan tersebut.
Dan di saat yang sama, hanya beberapa ratus meter dari pusat keriuhan acara-acara berlabel hijrah. Surga itu sesederhana seorang bapak yang mendorong gerobak sampahnya, pulang menjelang maghrib dengan membawa seplastik beras hasil mencari rezeki hari ini. Itulah jihadnya. Tidak sempat hadir dipikirannya tentang bagaimana mengubah penampilannya agar sesuai dengan konsep surga yang dimaknai oleh teman-temanku yang lain, yang rela mengeluarkan lebih banyak hartanya untuk membeli pakaian dengan segenap propaganda kehijrahannya.
Ada konstruksi pikiran yang berbeda, ada pemaknaan yang berbeda. Perjalanan ini membuat aku percaya satu hal bahwa Allah itu Maha dalam segala ke-MAHA-annya. Aku percaya bahwa setiap manusia itu akan mencapai surganya dengan ridho Allah. Dan surga itu tidak akan pernah bisa dimonopoli oleh segilintir orang dan golongan, tidak juga hanya bisa diraih dengan jalan-jalan yang serupa seperti yang tengah tren saat ini..


Setiap orang akan dimudahkan dalam beribadah, juga disediakan ladang ibadahnya sendiri. Ladang-ladang amal yang mungkin tidak akan pernah bisa dipahami oleh orang lain. Dan aku hanya bisa menangis saat aku berusaha membeli sebuah baju muslim baru dengan harga ratusan ribu, sementara di perjalanan pulang aku menyaksikan sepasang manusia, bekerja berdua mencari rezekinya. Saat kami sama-sama berhenti di sebuah masjid karena maghrib sudah menjelang. Ibu dengan jilbab seadanya, dengan baju lengan pendeknya, dan celana panjang yang lusuh. Dan suaminya yang mendorong gerobak berisi tumpukan kardus. Pikiranku ternyata benar-benar picik, aku mengira surga itu hanya bisa diisi dengan orang-orang pakaian syari terkini. Harus menghafal semua isi kitab suci, atau harus mengikuti semua kajian. Maka, aku harus benar-benar bersyukur karena diri ini dimudahkan dalam beribadah, tidak harus mengalami kehidupan yang sulit dalam hal rezeki (materi). Karena ada orang-orang yang tidak memiliki ruang dan rezeki untuk menikmati ibadah-ibadah itu.
Setiap orang sedang berjuang dalam hidup ini, berjuang yang terbaik. Untuk meraih surga-Nya. Sebuah tempat terbaik untuk pulang nanti, sesudah mati.
 Dan ternyata surga itu begitu dekat.

Tulisan : Tentang Takdir


Setiap hari kita dihadapkan pada kondisi dimana kita harus selalu mengambil keputusan untuk hidup kita sendiri. Dimulai dari bangun tidur, kita harus memutuskan apakah akan langsung bangun, atau tidur lagi. Apakah kita memutuskan untuk membaca doa bangun tidur atau mengecek handphone kita ada notifikasi atau tidak.
Setiap detik adalah pengambilan keputusan. Kadang, aku berpikir bahwa takdir sebenarnya adalah keputusan yang kita pilih sendiri. Apakah kita akan menjadi orang yang berguna dan berdaya atau tidak, itu adalah takdir yang kita pilih. Apakah kita akan berbuat baik atau jahat, itupun sebuah pilihan dan menjadi takdir yang bisa kita pilih.
Hanya saja, banyak hati dan pikiran manusia yang terlanjut mati oleh rutinitas. Menganggap bahwa apa yang terjadi setiap detiknya adalah hal yang wajar, biasa saja, dan sudah berjalan sebagaimana mestinya. Setiap hari melakukan hal yang sama, selalu serupa. Mengulang-ulangnya tanpa sedikitpun berusaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik, lebih efisien, atau lebih bermanfaat.
Kita menganggap apa-apa yang sewajarnya, ya disikapi sewajarnya. Lantas ketika kita berhadapan pada kondisi yang tidak sesuai, kondisi yang tiba-tiba mengacaukan rutinitas kita, kondisi yang membuat apa yang tadinya biasa kita lakukan menjadi tidak bisa. Kita kalang kabut.
Biasa bangun jam 8 pagi, dipaksa bangun jam 3 pagi. Biasa tidak pernah sarapan, dipaksa sarapan. Takdir, seringkali bertindak sesederhana itu. Hanya saja, kita tidak pernah siap. Dalam kondisi ekstrem, takdir bisa mengubah rencana hidup kita secara total. Bisa membelokkan arah hidup kita secara dratis.
Di saat itulah, kita mungkin baru merasakan bahwa hidup ini tidak mengalir begitu saja.



Cerpen : Titipan


Sudah berhari-hari lamanya beliau berdiam diri dari balik pagar tanaman rumahnya. Duduk diteras dengan syal putih yang melilit lehernya, kerudung hitam yang menyelimuti kepalanya seperti tidak pernah berganti. Sudah berhari-hari lamanya pula aku menyapa beliau setiap kali lewat, menawarkan sayur, cabai, dan segala macam bahan makanan. Beliau adalah pelangganku yang biasanya memesan berbagai macam sayuran setiap hari.
Aku berjalan sambil tersenyum, menawarkan daganganku pagi ini. Suaminya yang duduk di sebelah beliau menolak dengan mengayunkan tangan sambil tersenyum. Ini sudah berhari-hari lamanya beliau tidak membeli sayuranku lagi. Aku mendorong gerobak sayur menuju dua tiga rumah tetangga beliau. Berhenti.
Ibu-ibu keluar seperti biasa. Dan aku membiarkan mereka memilih sendiri apa yang mereka inginkan. Sesekali bertanya kabar, sesekali berbagi rezeki.
“Kasihan ya Ibu Dias,” salah seorang diantara ibu-ibu yang mengerumuni gerobak sayurku berceletuk. Ibu-ibu yang lain mengangguk, tanda setuju. Namun, tidak bersedia meneruskan obrolan itu.
Anak perempuan semata wayang keluarga ibu Dias meninggal beberapa minggu yang lalu. Mungkin sudah hampir sebulan. Anak satu-satunya yang menjadi harapan besar itu pergi selama-lamanya dari kehidupan dunianya. Seolah-olah tercerabut seluruh sumber kebahagiaan beliau. Suami beliau tampak begitu tegar dan sabar. Setiap hari, setiap pagi, menemaninya duduk di teras rumah sambil berusaha mengajaknya berbicara.
Entah bagaimana rasanya menjadi orang tua seperti beliau. Mungkin selama ini kita semua berpikir bahwa akan ada kesempatan untuk merawat kedua orang tua saat tua nanti. Hanya saja, kita lupa barangkali usia kita tidak lebih panjang dari kedua orang tua kita. Aku pun, tidak memiliki kesempatan sebab sejak kecil memang tidak pernah sempat berlama-lama dengan orang tua. Keduanya sudah meninggal sejak usia 7 tahun dan setelah itu kehidupanku berlangsung di panti asuhan.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya saat anak satu-satunya yang beliau miliki pergi begitu saja. Bahkan belum sempat pamit, belum sempat berpelukan, belum sempat menyampaikan sepatah dua patah kata wasiat. Anak itu pergi begitu saja, meninggal sebab kecelakaan lalu lintas di jalan raya.
Aku kembali berjalan ke arah rumah ibu Dias yang terletak persis setelah gerbang perumahan setelah ibu-ibu selesai berbelanja. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah suami beliau. Memang sulit membayangkan bagaimana perasaannya. Aku pun teringat kepada anak pertamaku di rumah, rasanya tidak ikhlas bila Tuhan tiba-tiba mengambilnya. Padahal aku tahu benar bahwa anak bukanlah milikku seutuhnya, ia adalah titipanNya.

Menjadi Orang Biasa

Saya sering bertemu dengan banyak orang. Orang-orang yang tidak saya kenal, juga tidak mengenal saya. Di jalan, di pasar, di mall, di masjid, di tempat makan, di mana-mana.

Lalu ketika kembali ke lingkaran pertemanan saya. Di tengah euforia orang-orang sedang membangun karir, sedang demam start-up, sedang sibuk membangun eksistensi. Saya kemudian berpikir, apa salahnya menjadi orang biasa-biasa saja?
Ketika saya pulang ke desa, ke kampung halaman saya. Saya bertemu dengan masyarakatnya, orang-orang desa yang sejak saya kecil sampai sebesar ini mungkin dunia yang dikunjunginya baru sejauh Jakarta. Itupun belum tentu setahun sekali, lebih banyak harinya habis di ladang dan sawah. Mereka tidak mengenal istilah start-up, tidak mengerti apa itu eksistensi. Tapi satu hal yang pasti, mereka berperan.
Adalah orang-orang yang tidak dikenal inilah yang membuat meja makan orang-orang bisa tersaji nasi. Juga beberapa macam sayuran. Mereka menjalani perannya dengan ikhlas. Tidak menuntut untuk menjadikan diri mereka dikenal banyak orang. Sungguh, tidak ada yang keliru sama sekali dengan menjadi orang biasa. Surga juga tidak diciptakan hanya untuk orang-orang yang eksis, yang terkenal, yang membangun ini dan itu. Dan perubahan peradaban juga tidak muluk-muluk dimulai dengan membangun perusahaan, dan berbagai macam euforia yang menekan kaum muda saat ini.
Yang paling utama adalah menjadilah seseorang yang berperan. Kemudian menjalani peran tersebut dengan sebaik-baiknya. Menjalaninya dengan penuh ketulusan dan niat yang lurus.
Kita semakin jauh dari niat, semakin jauh dari kearifan-kearifan. Kalau saya perhatikan, begitu banyak orang yang khawatir dirinya menjadi debu, menjadi bukan siapa-siapa dan biasa saja. Padahal menjadi debu pun sebenarnya sangat berarti dan bermakna ketika ia bisa menjadi berperan. Untuk tayamum misalnya.
Keluar rumahlah dan jalan kaki. Berapa ribu orang yang bisa kita temui dijalan dan sama sekali tidak kita kenal. Barangkali mereka adalah orang-orang yang amat dikenal oleh penduduk langit, surga merindukan kematian mereka, malaikat sibuk mencatat kebaikan dari peran yang mereka jalani.
Dunia ini benar-benar sementara, benar-benar senda gurau. Tidak akan habis kita mengejarnya. Setelah itu juga, tidak akan kita bawa mati. 



Iin Wahyuningsi
Rumah, catatan setahun yang lalu


"Meskipun sang Maryam menghadapi tuduhan keji dan keadaan sulit, namun Allah tetap mengatakan padanya (yang artinya): "Makan dan minumlah, dan bersenang-hatilah kamu" (Qs. Maryam:26)

Jalanilah hidup ini seperti biasa dan berbahagialah selalu, karena ada beberapa masalah yang solusinya hanya ada di tangan Allah, cukup di ceritakan kepada Allah.

---

Setidaknya, dengan segala yang sudah terlewati itu, ada banyak hikmah yang bisa di bawa pulang. Dan mungkin, sembuhnya kamu adalah kado terindah buat Bapak.
Selamat 'kembali' adik kecil.
Semoga setelah ini, iman itu kian terasa manis. Asal sabar asal ikhlas, ya sayang.❤❤

*Kak Iin, buat adik yang alhamdulillah udah balik baiknya, udah balik ngeselin-nyenenginnya, biar belum ilang keras kepalanya..❤❤

Suatu sore, menuju pertengahan Bulan terakhir..

Minggu, 11 Desember 2016

Scroll Buat Bapak

Waktu rasanya begitu cepat melesat, meninggalkan kita dengan kenangan-kenangan yang rasanya tak akan habis meski hanya untuk dikenang.
Menjadi saksi bagaimana perjuangan seorang laki-laki yang bergelar Bapak, rasanya begitu menyenangkan, sebab menjadi bagian dari laki-laki yang penuh dengan kehangatan, Kasih sayang, tanggung jawab, lucu dan menggemaskan adalah anugrah yang tak akan terbeli dengan benda yang bernama rupiah. Sebab ini tentang perasaan, perasaan syukur.

___

Laki-laki yang rela menghabiskan waktunya dari pagi, pulang disiang hari, sorenya pergi lagi hingga benar-benar pulang di waktu tengah malam. Menghabiskan tenaga sampai penghabisan hanya untuk mencari rupiah yang diberikan seluruhnya pada keluarga.
Bagaimana bisa sekuat itu Jika bukan cinta yang bekerja?

Laki-laki yang menghabiskan waktu puluhan tahun merawat pendamping hidup yang sakit-sakitan dan tidak pernah lelah kesana kemari meyempurkan ikhtiar hanya demi kata "sembuh".
Bagaimana bisa sesabar itu, jika bukan cinta yang bekerja?

Laki-laki yang sebisa mungkin selalu makan masakan rumah. Jikapun makan diluar, makanan selalu dibungkus dan dibawa pulang. Dengan alasan "biar sama-sama merasakan".
Perasaan yang selalu merindukan rumah. Bagaimana bisa seperti itu Jika bukan cinta yang bekerja?

Laki-laki yang selalu ingin mendampingi, laki-laki yang lebih banyak bersabar menghadapi tat-tit-tut-tet-tot- tiga bocah yang kini kian tumbuh mendewasa. Bagaimana bisa Jika bukan Cinta yang bekerja?

___

Dan tepat di hari ini, menggenaplah angka lima puluh enam tahun untuk Bapak, meski katanya Bapak sebenarnya lebih tua dari kalkulasi angka di KTP, tapi buat iin Bapak selalu muda dan ketceeh, masih anteng di bawa kemana-mana, masih cakep jadi teman menghadiri undangan😂😅..

Selamat hari ulang tahun Bapak, selamat bertambah usia. Semoga Allah kian meluaskan ruang kesabaran di hati, kian berkah umurnya, kian baik hubungannya dengan Allah, kian banyak manfaatnya untuk orang lain, kian sayang sama tiga serangkai di rumah..aamiin.. ❤❤

Sekarang, kalau ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama, "kamu mau laki-laki yang bagaimana?"
jawabannya juga tidak akan berubah, "kurang lebih seperti Bapak saya"..

Meski ada satu dua sifat Bapak yang buat iin kurang berkenan, tapi nggak akan pernah mampu menghilangkan setiap mili alasan untuk lebih lebih lebih lebiih sayang Bapak..

Terimakasih, Pak.. Terimakasih sampai habis kata.. :")

*semoga Bapak ndak nangis abis baca ini

Kamar, 12-12-2016

Kamis, 08 Desember 2016

Bersyukurlah


jika saat kau membaca tulisan tentang hijab, lantas kamu tersinggung. Bersyukurlah, karena memang itu untukmu.

jika saat kau mendegarkan ceramah tentang islam melarang pacaran, lantas kamu tersinggung. Bersyukurlah, karena ceramah itu memang ditujukan padamu.

jika saat kau diajak agar jangan membicarakan orang, lantas kamu tersinggung. Bersyukurlah, karena ajakan itu ada untukmu.



Saat seseorang mengajak pada kebaikan, lantas kamu tersinggung, lantas hatimu merasa tak nyaman, lantas kamu merasa memang melakukan itu. Bersyukurlah.

Bersyukurlah, karena masih ada bagian dari hatimu yang Allah biarkan agar terketuk.

Bersyukurlah, karena Allah masih memberikan kesempatan bagi dirimu untuk berubah.

Bersyukurlah, karena masih kesempatan bagi hatimu untuk terbuka.
Bersyukurlah, karena hati ini masih mungkin menerima hidayah.

Karena, jika saat diajak pada kebaikan lantas kau tak merasakan apapun sama sekali, tak merasa risih, tak merasa bersalah, tak merasa memiliki dosa, merasa orang lain “sok alim” atau “sok agamis”, Bisa jadi, Allah telah menutup dan mengunci hatimu.

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” 
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendegaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka, siksa yang amat berat” (Q.S. Al-Baqarah : 6-7)

Maka, bersyukurlah saat kau tersinggung, karena di hati kecilmu ingin berubah menjadi baik, walau hanya sedikit. Tinggal masalah waktu, hidayah datang dan meluluhkan hati yang keras.
Selamat berubah menjadi lebih baik kawan.
 Semoga kita bukanlah bagian dari orang-orang yang dikunci hatinya, dimatikan pendengarannya, dan ditutup penglihatannya.



Teras Rumah Bersama Guyuran Hujan, 10 Desember 2016
“Dan hati manusia selalu berubah-rubah, bagaikan bulu yang diombang-ambing oleh angin di tengah tanah yang lapang” (HR. Ibnu Majah)
 
 
  Maka wajar, asalnya rajin ibadah, besok-besok solatnya ditunda-tunda.

Maka wajar, hari ini rajin gibah, besok-besok yang sering mengingatkan.

Maka wajar, hari ini benci, besok-besok yang paling merindukan.

Hati itu berubah-rubah. Itu kenapa, yang sulit dari melakukan, adalah istiqomah.

MENGAPA BERBEDA?


“Kak, kenapa ya, kalau di tulisan, sama aslinya, beda yah?”



Sering kali kita bertemu orang yang perilakunya berbeda dengan tulisannya. Nampak dalam tulisannya begitu sempurna, bahkan nyaris tak ada kekurangan, sedang dalam kesehariannya, banyak kesalahan-kesalahan yang dibuatnya.
Wajar saja.

Tulisan-tulisan yang hebat, dia tidak dibuat dalam sekali tulis. Ketika salah menulis, typo, salah memilih kata, maka mudah bagi kita untuk menghapus dan juga mengeditnya kembali, melihatnya kembali, dan akhirnya membuat semua tulisan menjadi nampak sempurna. Bahkan, penulis-penulis hebat pun, takkan mampu membuat tulisan yang terus menerus sempurna tanpa melakukan editing.
Sedang dalam berprilaku, tak sekalipun perilaku kita yang salah, bisa kita ulangi atau pun kita edit. Dia akan mengalir, tanpa bisa diulangi. Seringkali, perilaku kita keluar secara spontan, tanpa kita fikirkan akan berdampak apa. Kita bisa memilih kata-kata yang baik dalam tulisan, tapi dalam bertindak, kadang kita diminta cepat untuk memilih sesuatu dalam mengambil keputusan yang bisa jadi putusan tersebut berdampak baik ataupun buruk.

Maka dari itu, dalam menjalani setiap level dalam kehidupan, kita harus berhati-hati, baik memilih kata untuk berbicara, menentukan langkah, menjalankan solusi dalam menghadapi masalah, karena tak satupun keputusan yang kita buat, bisa kita tarik kembali.
Hidup ini sesungguhnya jauh lebih sulit, dibanding membuat tulisan di blog.



Kamar, 24 Desember 2016

Selasa, 06 Desember 2016

Ruang kosong

Perlahan-lahan manusia mulai meninggalkan takdirnya sebagai makhluk sosial, menuju hidup yang lebih individualistis.
Kemandirian dibangun dengan rasa curiga pada orang lain dan keinginan untuk mengalahkan, bukan pada rasa percaya dengan dukungan sesama. Sehingga kita hidup bersama, tapi bukan untuk berbagi.
Kita hidup dalam kelompok, tapi bukan untuk saling terhubung, kita mungkin bergandengan tangan dipermukaan, tapi berselisih dalam hati.

Barangkali, dulu, ketergantungan antar manusia lebih terasa. Sebelum telepon ditemukan, kita sangat bergantung pada pertemuan tatap muka. Sebelum Google tercipta, kita sangat membutuhkan untuk tempat bertanya dan berdiskusi. Sebelum segala kemudahan teknologi dan ekonomi yang ada kini kita menyadari bahwa kesendirian tidak bisa menjadi cara untuk bertahan hidup.

Tapi kemudahan hanya ilusi.
Sebenarnya, hidup berjalan lebih sulit dari sebelumnya.

Kita tak ubahnya seperti sekawanan semut yang ditakdirkan hidup berkoloni tapi memilih untuk meninggalkan koloni dan hidup masing-masing. Membangun sarang sendiri-sendiri, mencari makan sendiri-sendiri. tak terelakkan lagi, kolaborasipun berubah menjadi kompetisi. Perkawanan berubah menjadi perlawanan. Satu sama lain kita bersaing. Bersaing memiliki sarang terbesar, bersaing memperebutkan makanan, bersaing mendapatkan hidup yang lebih baik.

Sepertinya hidup menjadi lebih mudah dan maju. Tetapi, jauh di dalam jiwa, kita kesepian..

Dan berbagai kompensasi yang kita penuhi untuk mengusir kesepian itu; kesibukan, kepopuleran di dunia maya, dan perasaan bebas, tak juga mampu memenuhi ruang kosong dalam hati.

Kita mungkin memiliki banyak perbedaan, pengalaman dikecewakan, pengalaman disakiti orang lain, yang membuat kita berpikir untuk memutus hubungan dengan orang lain. Tapi kita juga memiliki satu hal yang saling beririsan, yakni bahwa kita adalah makhluk koloni, kita adalah semut-semut yang akan mencipta banyak makna jika bersama. Kita tidak bisa hidup sendiri..

"No man is an island, entire of itself; every man is a piece of the continent, a part of the main"
-John Donne

Mari mendekat, untuk menghubungkan kembali yang terputus. Mari membuka hati untuk saling mengisi. Mari awali semua itu dengan saling mendengarkan..

Kamis, 01 Desember 2016

Aksi Damai 212

Lagi-lagi aku teringat kisah seekor semut yang mengusung air untuk mematikan api yang membakar Nabi Ibrahim as. Ketika binatang lain menertawakannya dan berkata, "hai semut, percuma airmu yang sedikit itu tidak bisa mematikan api". Jawaban semut adalah, "biarlah. Namun dengan begini aku menunjukkan sikap (pada Allah) kepada siapa aku berpihak".

Nabi Ibrahim as tidak perlu ditolong oleh makhluk lain, sebab Allah pasti menolongnya. Tapi itu adalah cara semut beragama.

Mungkin ini analogi yang tidak relevan, tapi aku secara pribadi menghubungkan kisah ini dengan event hari ini.
Katakanlah islam tidak perlu dibela, tapi melakukan protes pada penistanya adalah adalah salah satu menunjukkan sikap (pada Allah) kepada siapa kita berpihak. Jikapun tidak bisa mengikuti event nya, setidaknya mendoakan dari rumah.

Satu lagi kata-kata Murabbi yang membuat aku merasa ditembak mati: "kalau Umar Bin Khattab masih hidup, apakah dia akan diam atau tidak diam?"

Berdasarkan sejarah, sudah bisakah menebak jawabannya?  Silahkan mau memilih mengikuti sahabat Rasul atau tidak. Kalaupun tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya mendukunglah dengan berdoa...