Rabu, 16 Maret 2016

Grasak-grusuk Pasang Sarung





Momen itu bermula ketika panggilan penuh cinta telah menggema, pertanda langit akan meng-orange dan menggelap dengan indahnya. Tatkala kaki-kaki itu melangkah dengan harapan akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari Rabbnya, satu-persatu masing-masing orang menapaki kaki meraka menginjak lantai masjid yang berukuran kurang lebih 5000 meter itu.
            Ketika iqamat telah berkumandang, bersama hempasan riak-riak udara yang bercampur dengan syahdunya lantunan cinta kalam ilahi bersatu dengan suara sang imam, ah… sejuk nian rasanya. Hingga akhirnya selesailah “proses pernyataan kehambaan” itu yang ditutup dengan sholawat yang tiada putus dari seluruh jemaah. Bersalaman satu-persatu, satu sama lain, bersentuhan dengan tangan-tangan yang jelas tampak tak kencang lagi, hingga suasana menjadi sedikit senyap, mereka beranjak satu-persatu meninggalkan rumah Allah itu dan hanya tersisa beberapa orang saja.
            Aku menepi, mengambil posisi berdekatan dengan jendela pembataas antara laki-laki dan perempuan, melaksanakan dua rakaat yang dianjurkan kekasihNya. Saat sujud pertama…
“Tungguin, sama-sama caranya”
“Ayok makanya!”
“E.. sarung saya ini!”
“Sarung saya mau jatuh”
“Gini, makanya!”
“Kamu aja kedodoran,, hahaha!”
            Suaranya kecil, namun begitu berisik, katakan saja mereka sedang berbisik dengan antusias, dan payahnya bisik-bisik it uterus berlanjut, hingga sujud yang keempat. Jujur saja, itu benar-benar membuatku tak konsentrasi.
“Assalamualaikum waroh matullah” ke kanan dan kiri, tak sempat menengadahkan tangan, aku menoleh kebelakang, tepat di belakangku. Mereka bukan perempuan! Mereka berjumlah tiga orang, dengan tinggi badan yang nyaris sama, postur tubuh yang sama, mungkin berusia sama (kira-kira 4 tahun), dan tentu saja, ini bukan area yang seharusnya, but well, anggap saja mereka masih belajar menjadi anak kecil yang taat. 
“Mau sholat jemaah pas orang sudah selesai, ngapain dateng” Dengan nada sinis yang tentu mengarah pada tiga anak ini, kurang lebih begitu kata seorang perempuan yang dari wajahnya jelas tak muda lagi. Mendengarnya, aku menghela nafas, tersenyum.
“Sini, kakak bantu benerin ya..” kataku pada anak yang di tengah, ia pasrah saja, hanya berdiri, diam dan melihat (mungkin merasa aneh).
Saat itu aku mulai mengingat-ingat bagaimana Abang (sebutan untuk adik laki-lakiku) biasa mngenakan sarung ketika sholat, “Diatas mata kaki!” kataku dalam hati, seperti mengingat jawaban  dari soal ulangan.
Ternyata tak semudah ketika Abang mengenakan sarung, yang set set set langsung rapi!. Aku tak henti tersenyum, bagaimana tidak, anak umur 4 tahun mengenakan sarung dengan size yang sama dengan sarung untuk ukuran Bapak-bapak (kebayang gak tuh? :D). Ketika aku berusaha menggulung sarung itu keatas dan fokus pada mata kaki. Kau tau apa yang terjadi ketika akhirnya mata kaki itu terlihat? Aku seperti merasa berhasil! Dan saat melihat pada bagian atasnya (perut), aku tertawa, iya tertawa, anak laki-laki yang imut dan ramping itu terlihat seperti bapak-bapak dengan perut extra buncit!! Merekapu tersenyum melihat aku tertawa (entah mereka mngerti atau tidak maksud dari tawaku). Dan alhamdulillaah, meski dengan keadaan perut-perut yang buncit, mereka memulainya, “penghambaan seorang anak kecil”
Simple, seperti cerita hidup lainnya, ketika ada yang berusaha untuk menjadi lebih baik, maka akan ada orang-orang yang mencibir, meremehkan, menjatuhkan, dan kawan-kawannya. Oke see, nggak apa-apasih kalau orang yang mendengar kata-kata cibiran itu menganggapnya sebagai “cambuk panas”, tapi bagaimana dengan orang-orang yang memiliki karakter “lemah iman?”. Apa salahnya kalau kita bisa mengambil bagian menjadi “kubu kanan”, membantu dan memudahkan jalan orang lain “bertemu” Tuhan?, toh, bukankah memudahkan urusan orang lain juga sebuah ibadah?
  

#Potongan 10 Bulan Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar