Momen itu bermula ketika
panggilan penuh cinta telah menggema, pertanda langit akan meng-orange
dan menggelap dengan indahnya. Tatkala kaki-kaki itu melangkah dengan harapan
akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari Rabbnya, satu-persatu masing-masing
orang menapaki kaki meraka menginjak lantai masjid yang berukuran kurang lebih
5000 meter itu.
Ketika
iqamat telah berkumandang, bersama hempasan riak-riak udara yang
bercampur dengan syahdunya lantunan cinta kalam ilahi bersatu dengan suara sang
imam, ah… sejuk nian rasanya. Hingga akhirnya selesailah “proses pernyataan
kehambaan” itu yang ditutup dengan sholawat yang tiada putus dari seluruh
jemaah. Bersalaman satu-persatu, satu sama lain, bersentuhan dengan
tangan-tangan yang jelas tampak tak kencang lagi, hingga suasana menjadi
sedikit senyap, mereka beranjak satu-persatu meninggalkan rumah Allah itu dan
hanya tersisa beberapa orang saja.
Aku
menepi, mengambil posisi berdekatan dengan jendela pembataas antara laki-laki
dan perempuan, melaksanakan dua rakaat yang dianjurkan kekasihNya. Saat sujud
pertama…
“Tungguin, sama-sama caranya”
“Ayok makanya!”
“E.. sarung saya ini!”
“Sarung saya mau jatuh”
“Gini, makanya!”
“Kamu aja kedodoran,, hahaha!”
Suaranya
kecil, namun begitu berisik, katakan saja mereka sedang berbisik dengan
antusias, dan payahnya bisik-bisik it uterus berlanjut, hingga sujud yang
keempat. Jujur saja, itu benar-benar membuatku tak konsentrasi.
“Assalamualaikum
waroh matullah” ke kanan dan kiri, tak sempat menengadahkan tangan, aku menoleh
kebelakang, tepat di belakangku. Mereka bukan perempuan! Mereka berjumlah tiga
orang, dengan tinggi badan yang nyaris sama, postur tubuh yang sama, mungkin
berusia sama (kira-kira 4 tahun), dan tentu saja, ini bukan area yang seharusnya,
but well, anggap saja mereka masih belajar menjadi anak kecil yang
taat.
“Mau sholat
jemaah pas orang sudah selesai, ngapain dateng” Dengan nada sinis yang tentu
mengarah pada tiga anak ini, kurang lebih begitu kata seorang perempuan yang
dari wajahnya jelas tak muda lagi. Mendengarnya, aku menghela nafas, tersenyum.
“Sini, kakak
bantu benerin ya..” kataku pada anak yang di tengah, ia pasrah saja, hanya
berdiri, diam dan melihat (mungkin merasa aneh).
Saat itu aku
mulai mengingat-ingat bagaimana Abang (sebutan untuk adik laki-lakiku) biasa
mngenakan sarung ketika sholat, “Diatas mata kaki!” kataku dalam hati, seperti
mengingat jawaban dari soal ulangan.
Ternyata tak
semudah ketika Abang mengenakan sarung, yang set set set langsung rapi!.
Aku tak henti tersenyum, bagaimana tidak, anak umur 4 tahun mengenakan sarung
dengan size yang sama dengan sarung untuk ukuran Bapak-bapak (kebayang
gak tuh? :D). Ketika aku berusaha menggulung sarung itu keatas dan fokus pada
mata kaki. Kau tau apa yang terjadi ketika akhirnya mata kaki itu terlihat? Aku
seperti merasa berhasil! Dan saat melihat pada bagian atasnya (perut), aku
tertawa, iya tertawa, anak laki-laki yang imut dan ramping itu terlihat seperti
bapak-bapak dengan perut extra buncit!! Merekapu tersenyum melihat aku tertawa
(entah mereka mngerti atau tidak maksud dari tawaku). Dan alhamdulillaah,
meski dengan keadaan perut-perut yang buncit, mereka memulainya, “penghambaan
seorang anak kecil”
Simple, seperti
cerita hidup lainnya, ketika ada yang berusaha untuk menjadi lebih baik, maka
akan ada orang-orang yang mencibir, meremehkan, menjatuhkan, dan
kawan-kawannya. Oke see, nggak apa-apasih kalau orang yang mendengar
kata-kata cibiran itu menganggapnya sebagai “cambuk panas”, tapi bagaimana
dengan orang-orang yang memiliki karakter “lemah iman?”. Apa salahnya kalau
kita bisa mengambil bagian menjadi “kubu kanan”, membantu dan memudahkan jalan
orang lain “bertemu” Tuhan?, toh, bukankah memudahkan urusan orang lain
juga sebuah ibadah?
#Potongan 10 Bulan Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar