Rabu, 23 Maret 2016

"Seseorang dapat memalsukan kasih, ia dapat memalsukan iman, ia dapat memalsukan pengharapan, dan semua rahmat lainnya, tetapi sangatlah sulit untuk memalsukan kerendahan hati."
—  D. L. Moody

Kemapanan (yang nggak cuma materi)


Tulisan ini akan melengkapi sudut pandang dari tulisan Kemapanan dan Harga Diri Laki-laki yang dimuat beberapa waktu yang lalu. Masih dengan orang yang sama, diskusi soal kemapanan ini berlanjut.

Ketika saya telah memaparkan betapa sensitifnya membicarakan soal kemapanan bagi laki-laki. Teman baik saya justru memberikan sudut pandang baru yang mungkin selama ini jarang dipedulikan dan tidak mendapat perhatian oleh banyak laki-laki ditengah upaya mengejar kemapanannya.

Ada hal yang jauh lebih penting daripada kemapanan itu sendiri. Teman baikku menyebutnya sebagai modal kemapanan. Sesuatu yang tidak berubah dari jaman dulu hingga ribuan tahun mendatang. Modal kemapanan itu adalah karakter. Tentu saja karakter yang baik. Kemapanan berupa kekuatan finansial akan berubah seiring waktu, dia tidak melekat secara utuh. Bisa tiba-tiba hilang begitu saja.

Karakter melekat pada diri dan ada di dalam diri manusia. Sedangkan kemapanan materi berasa dari luar diri manusia, bisa hadir dan bisa hilang dengan mudah, tidak melekat.

Karakter seperti jujur, bertaqwa, baik, santun, lemah lembut, ulet, pekerja keras  dll sifatnya jauh lebih abadi dibanding kemapanan itu sendiri. Kemapanan finansial bisa didapat melalui karakter-karakter baik itu.
Meski bisa juga terjadi seseorang menjadi kaya raya karena mendapat banyak warisan dari orang tuanya. Akan tetapi, jika ia tidak memilki karakter baik itu, lihatlah berapa lama semua kekayaannya akan bertahan. Atau mungkin juga harta benda seseorang hilang sekejar karena bencana alam atau sejenisnya. Untuk makan pun tidak ada. Apa yang membuatnya bisa bertahan dan bangkit? Karakter baik lah yang akan membuatnya mampu melalui semua proses itu.

Parameter mapan akan selalu berubah dan hampir tidak ada tolok ukur pastinya. Setiap orang berbeda. Akan tetapi, modalnya tetap sama. Yaitu karakter baik. Itulah mengapa memilih seseorang dengan karakter yang baik jauh lebih penting daripada soal kemapanan itu sendiri.

Materi yang didapatkan dengan modal karakter baik akan memiliki nilai keberkahan, karena dia akan menjaga segala sumber materi itu agar mengalir melalui cara-cara yag berkah. Tidak hanya sekedar dapat dan asal melimpah.

Laki-laki banyak yang abai dalam mempersiapkan karakter ini. Lebih sibuk mempersiapkan diri dengan hitungan rupiah dan memiliki rumah atau semacamnya. Sementara pendapat teman baik saya ini sendiri mematahkan keyakinan saya soal materi dan kemapanan.

Perempuan, pada dasarnya tidak begitu melihat kemapanan finansial sebagai sesuatu yang harus dan wajib. Namun melihatnya sebagai sebuah bukti kesiapan. Laki-laki yang siap secara finansial untuk memberi nafkah tentu baik.

Namun, perihal karakter ini benar-benar telah memporak-porandakan apa-apa yang selama ini menjadi salah dan terlalu berlebihan. Bahwa karakter baik akan mengantarkan seorang laki-laki ke dalam segala kesiapan baik batin maupun fisik. Tidak melakukan penundaan atau bahkan meminta seseorang perempuan untuk menunggu hanya karena alasan belum siap secara finansial. Karakter baik ini akan menjauhkan seseorang dari prasangka buruk dan ketakutan soal rejeki. Bahwa rejeki itu akan dijamin selama ia mau mengusahakan.

Kata teman baik saya, tidak penting berpenghasilan tetap, yang terpenting tetap menghasilkan. Orang dalam hal ini laki-laki dengan karakter baik akan tahu dimana tanggungjawabnya.

Tidak hanya sebagai seorang suami saja dan juga kelak ketika menjadi ayah. Tidak hanya pandai ‘membuat anak’ tapi juga ikut serta dan pandai mendidik anak. Teman baik saya menambahkan, hampir tidak ada kisah cinta yang terbaik dalam sejarah yang menceritakan soal kemapanan finansial sebagai tolok ukur utama. Wanita-wanita utama dalam islam pun tidak memilih seseorang lantaran kekayaannya, namun ketaqwaan dan keimanannya. Sesuatu yang jauh lebih abadi daripada materi. Sesuatu yang akan membuat seorang laki-laki mau berusaha keras dan sadar kewajibannya.

Lalu bagaimana caranya melihat karakter seorang laki-laki, pertanyaan ini tentu akan menjadi berbeda. Tidak ada rumus khususnya karena karakter itu akan muncul dengan sendirinya. Sesuatu yang alami dan berjalan dibawah kesadaran.

Gunakan mata hati kita untuk melihat. Betapa banyak sebenarnya laki-laki baik di sekitarmu. Juga betapa banyak laki-laki yang pura-pura baik, menutup-nutupi segala kekurangannya dan melipatkangandakan segala kelebihannya sebagai mana para pencinta yang mabuk oleh romantika masa muda yang melenakan itu.

Karakter yang baik akan memberikan kesadaran bahwa mencintai itu bukan hanya soal waktu, namun soal keimanan dan ketaqwaan. Bahwa mencintaimu tidak dan jangan sampai mengkhianati Tuhan. Apalagi menentang segala aturan-Nya. Cinta yang baik akan lahir dari karakter seseorang yang baik.


Suatu Hari Nanti


Suatu hari akan ada seseorang yang cukup baik budinya untuk membuat tertarik. Cukup luas hatinya untuk tempatmu tinggal. Cukup bijaksana pikirannya untuk kamu ajak bicara.

Kamu tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, tetap jadilah diri sendiri. Kamu pun tidak (dan jangan) menuntut orang lain menerima keadaanmu bila ia memang tidak mampu menerimanya. Karena yang baik belum tentu tepat.

Orang baik itu banyak sekali dan hanya ada satu yang tepat. Selebihnya hanyalah ujian. Kamu tidak pernah tahu siapa yang tepat sampai datang hari akad. Tetaplah jaga diri selayaknya  menjaga orang yang paling berharga untukmu. Karena kamu sangat berharga untuk seseorang yang sangat berharga buatmu nantinya.

Suatu hari akan ada orang yang cukup baik dan cukup luas hatinya untuk kamu tinggali. Cukup kuat kakinya untuk kamu ajak jalan bersama. Lebih dari itu, ia mampu menerimamu yang juga serba cukup.

Rabu, 16 Maret 2016

"Agama itu ada di dalam hati, melebur hingga menjadi satu kesatuan dalam diri manusia. Menjadi cara berpikir, cara berbicara, cara berperilaku, semuanya termanifestasi menjadi perilaku keseharian."

Hey! Kita nggak mesti ‘seragam’ kok!





Muslimah, satu kata yang mungkin bisa membuat para bidadari cemburu, atau bahkan bisa buat akhi-akhi harus gudhul bashor dengan sebenar-benarnya (lahir-batin, maksudnya), yang kadang bisa buat para wanita diluar ‘label’ itu berdecak atau bahkan merasakan impact keteduhannya. MasyaAllah!
Ini membuatku seolah mengadakan penelitian kecil-kecilan (ceritanya), dengan menyodorkan sebuah pertanyaan singkat, padat dan jelas; “Muslimah, menurut kalian itu seperti apa sih?”. Dan ternyata jawabannya tak se simple itu, satu pertanyaan yang ternyata melahirkan anak-anak  jawaban yang nggak kalah MasyaAllahnya;
-kalem
-lembut
-manis (gulaa kali yak!)
-wajahnya teduh (mungkin saat itu muslimahnya sedang diselimuti awan mendung, heheh.. kidding)
-tutur katanya ‘enak’ didenger
-nggak ‘sembarangan’ sama lawan jenis (mungkin maksudnya; nggak colak-colek sambalado, nggak hahah..hihi.. ckckck… wkwkwk.. kali ya.. ^^)
-pintar
-ke-ibu-an (keibuan lho ya, bukan ‘ibuq-ibuq’)
-ramah
            Uffft….jawaban yang cukup membuat tarik nafaas, hempaskan, tariik nafaas lagi, hempaskan lagi (bukan Sya****i -_-!), dalam hati berdecak ‘banyak juga ya syaratnya’ :D. But, well, izinkan yang menulis ini menyampaikan beberapa atau secuuuil gambaran tentang muslimah yang ada di balik batok kepala ini, ekhemm (sebenernya belum pantes).
Ketika mendengar kata Muslimah, maka yang terlintas adalah nama-nama wanita LUAR BIASA yang saking luar biasanya hingga di sebutkan dalam kitab penuh cinta sekaligus panduan hidup, Al-qur’an karim dan hadist-hadist yang tak akan habis dihitung 10 jari kecil ini, siapakah dia? Adalah Maryam Binti Imran, yang terkenal dengan kesucian, kesabarannya, kepandaiannya menjaga maruah. Ada Khadijah Binti Khuwailid, satu-satunya wanita yang begitu beruntung, kenapa? Sebab beliau adalah satu-satunya wanita yang mendapat salam langsung dari Rabb seluruh alam, dikarenakan sikap beliau yang begitu penyayang penerimaan beliau terhadap Rasulullah, menjadi orang pertama yang mempercayai perihal kenabian Muhammad Saw, yang menyemangati Rasulullah dikala itu. Lanjut, ada Aisyah Binti Abu Bakar, siapa yang tak kenal dengan nama ini? Sosok perempuan yang terkenal cerdas, ceria nan manja, sosok yang karena kecerdasannya mampu melahirkan banyak hadist bahkan di usia 18 tahun!, kemudian tak lupa dengan sosok putri kesayangan Baginda Muhammad Saw, siapa lagi kalau bukan Fathimah Az-Zahra binti Muhammad yang bergelar Ummu Abiihaa (Ibu bagi ayahnya), wanita yang begitu sederhana dan mewarisi sikap-sikap sang Ibu dan Ayah yang begitu luar biasa,  yang juga mashur melalui kisah cinta dalam diamnya bersama Ali yang bahkan setanpun tak tahu tentang perasaan mereka, MasyaAllah!. Atau dengan Nusaibah bintu ka’ab yang terkenal dengan akhwat jago karate yang melindungi Rasulullah kemanapun beliau bergerak dalam perang.
Itu karakter yang sesuai dengan jenis kelamin yang nulis ya, kemudian beranjak sedikit saja, namun masih di lahan yang sama, lahan karakter. Ingin mengambil ibroh dari para Nabi dan sahabat-sahabat di zaman Rasulullah yang memiliki karakter yang lebih masyaAllah. Sebagaimana yang diriwayatkan imam Muslim tentang salah satu episode indah tentang perbedaan karakter Abu Bakar dan Umar. Perbedaan yang membuahkan penyikapan lain terhadap tawanan perang badar. Tetapi, masyaAllah dengarlah komentar Rasulullah Saw tentang perbedaan mereka;
“Sesungguhnya Allah melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Allah mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras dari batu. Sesungguhnya engkau wahai Abu Bakar, bak Ibrahim yang berkata:
Barang siapa yang mengikutiku maka ia termasuk ke dalam golonganku, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ibrahim 36)
Dan Engkau wahai Umar, tak ubahnya seperti Musa yang berkata:
“.. wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka karena mereka tidak beriman hingga mereka menyaksikan siksa yang pedih” (QS. Yunus; 88). 
            Disini aku tersenyum, iya senyum, luar biasa, kan? Ya. Manis sekali rasanya perbedaan sikap dari tiap-tiap insan yang penuh dengan pembelajaran yang sejatinya bermuara pada satu hal, yaitu menjalankan islam yang rahmattan lil alamin. Alangkah sunyi dunia jika semuanya seragam, biarkan semua karunia karakter yang Allah lekatkan pada diri sendiri.  
            Oke, see.. kita nggak perlu maksain diri untuk menjadi orang lain, buat para muslimah yang manis-manis dan imut dengan jilbabnya, bahwa jilbab itu bukan topeng dan bukan tameng. Kita nggak perlu mendadak jadi pendiam ketika telah memutuskan berhijab, memaksakan diri yang kalau di rumah itu ceria dan membahana untuk menjadi seorang yang seperti tersebut di ciri-ciri sebelumnya, hanya tentu harus ada yang diingat, nggak semua orang bisa di perlakukan dengan seaseeelinya kita,taukan maksudnya? Ya. non mahram, lihat sikon juga ya J

Celupan warna Allah. Dan siapakah yang lebih baik celupan warnanya dari pada Allah. Dan padaNya sajalah kami beribadah” (QS. Al-Baqarah 138)

Grasak-grusuk Pasang Sarung





Momen itu bermula ketika panggilan penuh cinta telah menggema, pertanda langit akan meng-orange dan menggelap dengan indahnya. Tatkala kaki-kaki itu melangkah dengan harapan akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari Rabbnya, satu-persatu masing-masing orang menapaki kaki meraka menginjak lantai masjid yang berukuran kurang lebih 5000 meter itu.
            Ketika iqamat telah berkumandang, bersama hempasan riak-riak udara yang bercampur dengan syahdunya lantunan cinta kalam ilahi bersatu dengan suara sang imam, ah… sejuk nian rasanya. Hingga akhirnya selesailah “proses pernyataan kehambaan” itu yang ditutup dengan sholawat yang tiada putus dari seluruh jemaah. Bersalaman satu-persatu, satu sama lain, bersentuhan dengan tangan-tangan yang jelas tampak tak kencang lagi, hingga suasana menjadi sedikit senyap, mereka beranjak satu-persatu meninggalkan rumah Allah itu dan hanya tersisa beberapa orang saja.
            Aku menepi, mengambil posisi berdekatan dengan jendela pembataas antara laki-laki dan perempuan, melaksanakan dua rakaat yang dianjurkan kekasihNya. Saat sujud pertama…
“Tungguin, sama-sama caranya”
“Ayok makanya!”
“E.. sarung saya ini!”
“Sarung saya mau jatuh”
“Gini, makanya!”
“Kamu aja kedodoran,, hahaha!”
            Suaranya kecil, namun begitu berisik, katakan saja mereka sedang berbisik dengan antusias, dan payahnya bisik-bisik it uterus berlanjut, hingga sujud yang keempat. Jujur saja, itu benar-benar membuatku tak konsentrasi.
“Assalamualaikum waroh matullah” ke kanan dan kiri, tak sempat menengadahkan tangan, aku menoleh kebelakang, tepat di belakangku. Mereka bukan perempuan! Mereka berjumlah tiga orang, dengan tinggi badan yang nyaris sama, postur tubuh yang sama, mungkin berusia sama (kira-kira 4 tahun), dan tentu saja, ini bukan area yang seharusnya, but well, anggap saja mereka masih belajar menjadi anak kecil yang taat. 
“Mau sholat jemaah pas orang sudah selesai, ngapain dateng” Dengan nada sinis yang tentu mengarah pada tiga anak ini, kurang lebih begitu kata seorang perempuan yang dari wajahnya jelas tak muda lagi. Mendengarnya, aku menghela nafas, tersenyum.
“Sini, kakak bantu benerin ya..” kataku pada anak yang di tengah, ia pasrah saja, hanya berdiri, diam dan melihat (mungkin merasa aneh).
Saat itu aku mulai mengingat-ingat bagaimana Abang (sebutan untuk adik laki-lakiku) biasa mngenakan sarung ketika sholat, “Diatas mata kaki!” kataku dalam hati, seperti mengingat jawaban  dari soal ulangan.
Ternyata tak semudah ketika Abang mengenakan sarung, yang set set set langsung rapi!. Aku tak henti tersenyum, bagaimana tidak, anak umur 4 tahun mengenakan sarung dengan size yang sama dengan sarung untuk ukuran Bapak-bapak (kebayang gak tuh? :D). Ketika aku berusaha menggulung sarung itu keatas dan fokus pada mata kaki. Kau tau apa yang terjadi ketika akhirnya mata kaki itu terlihat? Aku seperti merasa berhasil! Dan saat melihat pada bagian atasnya (perut), aku tertawa, iya tertawa, anak laki-laki yang imut dan ramping itu terlihat seperti bapak-bapak dengan perut extra buncit!! Merekapu tersenyum melihat aku tertawa (entah mereka mngerti atau tidak maksud dari tawaku). Dan alhamdulillaah, meski dengan keadaan perut-perut yang buncit, mereka memulainya, “penghambaan seorang anak kecil”
Simple, seperti cerita hidup lainnya, ketika ada yang berusaha untuk menjadi lebih baik, maka akan ada orang-orang yang mencibir, meremehkan, menjatuhkan, dan kawan-kawannya. Oke see, nggak apa-apasih kalau orang yang mendengar kata-kata cibiran itu menganggapnya sebagai “cambuk panas”, tapi bagaimana dengan orang-orang yang memiliki karakter “lemah iman?”. Apa salahnya kalau kita bisa mengambil bagian menjadi “kubu kanan”, membantu dan memudahkan jalan orang lain “bertemu” Tuhan?, toh, bukankah memudahkan urusan orang lain juga sebuah ibadah?
  

#Potongan 10 Bulan Maret 2016

Episode Sholat Subuh





Lingkaran itu sudah rapi. “anak-anak, siapa yang tadi pagi sholat subuh?” sejumlah lengan kecil mengacung tinggi, sambil berteriak, “Saya! Saya!” Aku lihat ada beberapa anak yang terpaku tidak mengangkat tangannya. aku tanya satu persatu, “Apa yang membuatmu tak sholat subuh Sayang?”
“Itu, Buk. Lupa, Buk”
“Oh.. Kalau ….. (nama siswa)?”
Dengan wajah seolah malu, “saya tadi abis bangun langsung disuruh mandi trus makan trus  berangkat”
“Oh….Nah, Kalau … (nama siswa yang lain)?”
“Saya bangunnya udah pagi, tapi Ibu saya masih tidur, Bapak saya juga, mereka ndak pernah sholat, Buk, saya jadinya ndak sholat juga”
Setelah mendengar jawaban anak-anak yang tidak sholat subuh, aku memberikan mereka beberapa masukan dan tips agar mereka bisa menjalankan sholat subuh. Terlebih dengan berjamaah. Episode singkat ini terjadi di pagi hari sesaat sebelum kelas dibuka, sekitar beberapa bulan yang lalu. Yang saya ingat mereka adalah anak-anak yang lucu dan lugu, berusia sekitar 4-6 tahun, imut, cakep, cantik, dan manis. Saat itu aku sengaja bertanya begitu agar perlahan tapi pasti memahami bahwa sholat itu penting; bahwa sholat subuh itu disaksikan oleh para malaikat yang mulia.
Aku tahu mereka masih kecil dan belum mendapat kewajiban menjalankannya. Aku hanya melatih mereka agar terbiasa menjalankan sholat sejak dini. Mengajak dan mencontohkan sekaligus. Diantaranya ada yang melakukannya, sebagian ada yang kadang melakukannya, kadang juga tidak, sebagian bahkan sangat sulit untuk melakukannya. Kenapa ya? Sampai-sampai aku ingin sekali berada di samping mereka saat subuh tiba. Sekedar membantu membangunkan mereka untuk sholat subuh saja.
Kenyataannya aku tidak di samping mereka. Yang ada di samping mereka adalah orang tua mereka. Merekalah yang akan ditanya oleh Allah kelak, bukan aku. Betapa aku ingin tahu apakah pertanyaanku setiap pagi itu memberikan makna pada keyakinannya?; “apakah kalian sudah sholat subuh tadi pagi, Nak?”

Bukankah RizkiNya itu Begitu Luas?





Ketika mengetik dengan jari-jari yang masih Allah izinkan ini, Bumi telah berusia 46 miliar tahun, alhamdulillaah ya, itu bukan umur yang sedikit lho, kalau sekarang membelanjakan uang segitu bisa dapet snack sampai memenuhi sekuruh ruang dalam rumah tuh J. Dimana keadaan sudah berbeda jauh sekali kalau mau di bandingkan dengan masa-masa ‘keemasan’ yang ada pada zaman orang-orang terkasih kita (orang tua) yang notabene lahir disekitran ’70 an atau ‘90an, bahkan aku yang lahir di kisaran ’90an aja udah ngerasain banget kok bedanya (kan kan kan jadi katahuan tuanya :D); dulu, dulu sekali bumi tak sepadat ini, yang ramai dengan sepeda ontel di setiap ruas-ruas jalanan yang tak memiliki klakson semenggema sekarang. hamaparan lahan hijau nan wangi dahulu itu luas sekali, sejauh mata memandang begitu dimanjakan oleh karyaNya nan agung. Dimana untuk berkomunikasipun harus kuat-kuat memendam rasa sebab tersampaikannya kabar atau pesanpun harus begitu sabar lahir batin. Berbedakah? Iya, tentu saja.
            Aku tak hendak membahas perbedaan yang ku sebutkan itu (dikupas di lain waktu aja ya). “Dulu itu, orang Cuma modal mau aja udah bisa jadi PNS kok” begitu kata salah seorang teman yang benar-benar membenci tiga huruf yang lahir dari singkatan Pegawai Negeri Sipil itu, sekarang udah tau kan mau bahas apa? Iya, si seragam yang berwarna keoklatan itu, yang sempat manjadi primadona di masa-masanya, kata sempat yang aku sematkan rasanya cukup mewakili melihat keadaan yang begitu berubah dengan saat ini, tapi ayolah, siapa yang tak tergiur dengan iming-iming yang di hadirkan si seragam kecoklatan itu? Seperti akan mendapatkan jaminan seumur hidup, ini itunya di tanggung Negara, bahkan yang di tanggung tak hanya si pengguna serangam, namun juga istri, anak, atau keluargnyapun akan kecipratan, tanpa perlu terlalu memeras keringat seember besar sehari. Jikapun masih ada yang begitu bernafsu dengan tiga huruf singkatan itu, bisa jadi merupakan keinginan dari orang-orang terdahulunya yang lahir di tahun-tahun keemasan si tiga kata singkatan.
Lalu, bagaimana dengan sekarang?  Aku akui, si tiga huruf singkatan itu belum menghilangkan pesonanya bagi yang berniat merengkuhnya, namun, mari kita lihat sekarang, masa-masa dimana setiap orang bisa mendapatkan rezeki yang telah dijanjikanNya dengan berlimpah ruah itu. Dimana setiap orang bisa bekerja dan mendapatkan si merah, biru, hijau, atau bahkan abu dengan begitu mudahnya, dengan duduk bersosmed ria pun bisa medapatkan uang, dengan memegang sapu di kedua tanganpun akan mendapatan uang, bayangkan jika tanpa sipemegang sapu sehari saja, maka alangkah kotornya  bumi Allah ini, atau dengan jenis pekerjaan-pekerjaan lain yang begitu mudah tertangkap kamera indah yang telah Allah anugrahkan, iya bukan?
“Seperti burung yang keluar dari sarangnya pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang, seperti itu janji Allah jika kau yakin dengan ketetapan Allah,” Iya, benar, bahwa rizkiNya itu luas sekali.
Maka jangan takut dengan apapun ‘label’ yang tersemat dalam pekerjaan kita hari ini, selama cara memperolehnya adalah halal lagi baik, kenapa tidak? Masalah cukup atau tidak, oh.. ayolah, bukankah “jika kau bersyukur maka Aku akan menambah nikmatKu” begitu janjinya Allah dalam Alqur’an nur karim. bukan masalah berpenghasilan tetap, tapi bagaimana agar tetap penghasilan tetap. 
Bukankah bisa membuka mata dan bernafas hingga detik ini adalah sebuah nikmat yang luar biasa?


                 Fabiayyialaa irobbikuma tukadzibaan…”