Jalan dan tujuan, bahasa kerennya “end” dan “means to an end”, dan bahasa lebih kerennya lagi “al maqashid” dan “al wasilah”. Jalan dan tujuan adalah dua perspektif yang jauh berbeda dalam melihat mimpi dan capaian pribadi, baik dari segi materi maupun non-materi.
.
Menjadi kaya, misalnya. Apakah itu tujuan atau jalan? Jika kaya menjadi tujuan, maka setelah mendapatkan kekayaan berlimpah maka yang tersisa hanya kehampaan. Begitu juga dengan gelar pendidikan dan jabatan/pekerjaan. Setelah tercapai lalu apa?
.
Maka sudah sepatutnya harta, ilmu, dan kekuasaan itu dijadikan jalan bukan tujuan. Harta kita menjadi jalan terbantunya sanak saudara yang kesulitan untuk membiayai pendidikan anak mereka. Ilmu kita menjadi jalan agar terwujudnya hidup yang produktif, efisien, dan terarah. Kekuasaan kita gunakan untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
.
Baru-baru ini saya mendengar nasihat pernikahan oleh Ustadz Abdul Somad (satu dari beberapa assatidz yang mahsyur di YouTube, yang ternyata bisa dihitung dengan jari jumlahnya). Beliau berpesan, “Jadikan pernikahan itu jalan, bukan tujuan!” Aku langsung tertegun. Proses dan tahapan dalam penyaringan calon, pendekatan, perkenalan keluarga, dan akhirnya perayaan dengan mengiklankan pada tetangga, saudara, kerabat dan sahabat hanya jalan. Ijab dan qabul itu jalan. Hidup berpasangan itu jalan, bukan tujuan.
.
Pernikahan itu jalan menuju kemana? Jika dibayangkan (tentu yang menulis belum menikah), maka ada banyak hal yang fundamental terjadi setelah pernikahan. Tidak heran sebenarnya saat menikah dimaknai dengan menyempurnakan agama yang separuh lagi karena ilmu, niat, dan amal tidak lagi untuk pribadi tapi kolektif. Walaupun dalam skala kolektif terkecil (dua orang), ada tanggung jawab dan ke-saling-an yang dituntut dalam ikatan pernikahan. It’s no longer all about you, but about us.
.
Pernikahan per se tentu memberikan kebahagiaan saat dirayakan, tapi pernikahan itu jalan bukan tujuan. Jadi, jangan berhenti pada uforianya saja. Banyak orang bahagia karena jalan tol membuat perjalanan jadi lebih cepat dan lancar, tapi tidak ada yang mau bertahan dan nongkrong lama-lama di jalan tol karena tidak ada apa-apa di sana. Jalan tol ada untuk membawa kita pada tujuan.
.
Jika pernikahan adalah jalan tol adalah untuk mempercepat kita mencapai tujuan maka yang perlu kita ketahui adalah kondisi bahan bakar (atau letak SPBU), kendaraan prima, dan tentunya fokus dan ilmu dalam berkendara.
.
Menentukan pola pikir/pendekatan “jalan atau tujuan” sebelum bertindak atau mengambil keputusan adalah cara sederhana untuk terus menyiapkan diri dalam mindset pembelajar yang visioner.
.
Tapi kalau dipikir-pikir semakin kita dewasa maka banyak pilihan hidup jatuh pada kategori “jalan”. Dulu waktu sekolah dasar dan menengah, mindset kita sering kali adalah tujuan, misalnya setelah dapat ranking dan dibeliin hape atau motor, selesai cerita. Bahkan dalam mencari kampuspun, sebagian kita menjadikannya tujuan. Belajar yang serius dan ngurangin hal-hal ga berfaedah selama setahun penuh… yang penting masuk UI, ITB, atau UGM. Setelah masuk eh malah kayak orang bingung dan kehilangan nafsu belajar. Bayangkan, bagaimana bila menjalin hubungan dengan calon pasangan lalu menjadikan pernikahan adalah “tujuan”? Jangan sampai.
.
Akhirnya, bila semua pilihan hidup yang kita ambil adalah “jalan” menuju kebaikan yang lebih besar (for a greater good), tentu hidup akan terus menarik dan dijalani dengan kesabaran. Semoga kita terus bisa mengingatkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita untuk terus berjuang “for the greater good” dan akhirnya menuju husnul khatimah dengan timbangan amal yang berat.
-Iin Wahyunungsi
Rumah, 2 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar