Sabtu, 02 Februari 2019

Ketika ada yang curhat persoalan rumah tangganya kepada kamu yang belum berumah tangga dan hanya tahu seujung kuku mengenai teorinya, mari dengarkan dan doakan yang terbaik untuknya.


- jadilah penenang untuk orang lain, jika belum bisa membawakan kebahagiaan, jadilah teman yang mendengarkan dan menjaga.

Ada Tuhan

Hidup emang nggak selamanya seperti yang kita mau. Kadang ada masanya kita kecewa sekali. Sampai nggak tau lagi mau marah ke siapa. Marah ke Tuhan? Kok kurang ajar. Akhirnya kita cuma ngadu dan ngadu. Nangis sejadinya. Nggak berkata-kata, cuma nangis aja.

Tapi diam-diam kita berdoa. Memohon agar semuanya lekas usai. Memohon agar kuat menghadapi ini semua. Memohon banyakkkk sekali, tapi intinya agar rasa kecewa ini diangkat, dicabut seakar-akarnya. Permohonan-permohonan itu kita teriakkan lantang saat senyap. Yang mengerti hanya kita dan Tuhan. Nggak perlu orang lain. Rasanya cukup Tuhan saja. Karena…kita tidak mau lagi kecewa dengan respon orang lain atas kita. Cukup…

Saat itu, sebenarnya yang kita perlu cuma didengarkan. Dan kembali, di saat semuanya nampak tak mau mendengar, lagi-lagi ada Tuhan yang tanpa dimintapun sudah mau mendengar.

Tuhan mungkin sedang ingin menunjukkan, kalau kita ini makhluk yang lemah. Yang tidak ada apa-apanya apalagi diberi masalah berat sedikit. Tuhan mungkin sedang rindu, dijadikan nomer satu, dijadikan segala-galanya.

Tuhan mungkin benar-benar rindu. Selama ini kita terlalu jauh, selama ini kita takbenar-benar bicara dengan hati, selama ini kita terlampau asyik dengan urusan-urusan kita, bahkan kadang mengatasnamakanNya tapi nyatanya taksetulus karenaNya…

Dibalik kekecewaan kita ini, Tuhan ingin kita mendekat…Tuhan sedang bilang pelan-pelan pada kita :

“Ada Aku… ingat, ada Aku.”

-Iin Wahyuningsi
Ampenan, 10 Februari 2019

Orang yg pinter dan atau pencari ilmu itu outputnya bukan hapal ribuan hadist. Tapi hakikat pintar adalah ketika ilmu kian bertambah, menjadikan kita semakin dekat dengan Allah

Mengajarkan Ibadah yang Menyenangkan pada Anak

Sebuah Catatan Seminar bersama Bunda Elly Risman, Psikolog

Oleh: Yulinda Ashari
Bidang Pemuda ASA Indonesia Divisi Riset dan Kajian

Sebagai orang tua Muslim, kita seharusnya sudah memahami bahwa tugas utama kita dalam pengasuhan anak adalah bagaimana menjadikan anak sebaik-baik hamba yang taat beribadah kepada Allah swt. Konsep ibadah dan keimanan ini harus diajarkan sejak anak masih dini, agar kelak ketika beranjak dewasa mereka sudah terbiasa untuk beribadah tanpa harus disuruh lagi. Metode pengajaran beribadah kepada anak tentu berbeda dengan orang dewasa. Ibadah bagi anak-anak harus dibuat menyenangkan. Mengapa ibadah bagi anak harus menyenangkan? Karena targetnya anak-anak, maka metode harus disesuaikan dengan cara kerja otaknya. Bagian sinaps pada otak anak belum menyatu dengan sempurna sehingga ibadah harus dikemas secara menyenangkan. Orang tua tidak bisa memberikan pengasuhan dengan mengabaikan perkembangan otak anak. 

Sebelum mengajarkan ibadah kepada anak, orang tua harus mengingat kembali bahwa hal ini merupakan perintah Allah yang harus diperjuangkan dengan bersungguh-sungguh, karena sejatinya tujuan penciptaan manusia di dunia adalah untuk beribadah dan mengagungkan keesaan Allah swt. Mari kita buka kembali QS. Ad-Dzariyat ayat 56-58, yang artinya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi Rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”

Salah satu tanggung jawab orang tua dalam hal beribadah ini adalah bagaimana cara membentuk kebiasaan yang baik serta meninggalkan kenangan yang baik pada anak. Ingatkah dahulu kala mungkin ada yang mendapat “ancaman” jika tidak salat? Barangkali hal itu dapat membentuk kebiasaan yang baik, namun kenangan yang tertinggal di ingatan adalah kenangan yang tidak baik, bukan? Kebiasaan baik dan kenangan yang baik. Ibadah harus dibuat menyenangkan agar anak tidak merasa terbebani, tidak menolak, dan tentu saja agar mereka merasa senang dan bahagia ketika beribadah. Jangan pernah tinggalkan kenangan buruk untuk anak ya Ayah Bunda!

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah berbicara dengan tutur kata yang benar.“
(QS. An-Nisa ayat 9)

Tugas pengasuhan anak apalagi terkait ibadah ini memang bukanlah hal yang mudah. Namun ingatlah bahwa karakter anak apapun yang Allah anugerahkan kepada Ayah Bunda, tidak akan melampaui batas kesanggupan masing-masing orang tua. Selalu ingatlah bahwa anak kita sejatinya bukanlah milik kita. Anak hanyalah titipan Allah yang dapat diambil kapan saja. Anak adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemilik-Nya. Mereka adalah kenikmatan, tantangan, sekaligus ujian, yang kemudian proses pengasuhannya membutuhkan perjuangan berupa pikiran, perasaan, jiwa, tenaga, serta biaya yang tidak sedikit. Bayangkan jika kita dititipi anak presiden, mungkinkah kita berani memukul, mencubit, atau berkata kasar padanya? Tentu saja tidak. Lalu bagaimana jika kita dititipi anak langsung oleh Sang Pemilik Kekuasaan? Masih beranikah kita mendidik anak tanpa ilmu dan bersikap sewenang-wenang pada mereka? Kira-kira sudah berapa banyak kita melanggar perintah Allah terkait pengasuhan anak ini?

Didiklah anak karena Allah. Jangan pernah mengharapkan kebaikan dari anak jika orang tua tidak mendidiknya dengan baik. Anak-anak kita bukanlah pilihan kita, mereka adalah takdir pilihan Allah untuk kita. Boleh memasukan anak ke sekolah-sekolah agama, namun bukan berarti kewajiban orang tua dalam mengajarkan agama menjadi gugur begitu saja. Tugas orang tua untuk mengajarkan agama harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum memasukan anak ke pesantren. Di akhirat kelak, bukan guru-guru pesantren yang akan ditanya, tapi para orang tua masing-masing. Ayah dan Bunda, sudah siapkah mempertanggungjawabkan tugas pengasuhan ini?

Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi para orang tua dalam mengajarkan anak beribadah yang menyenangkan, antara lain:
1. Tantangan dari dalam diri sendiri dan pasangan
Tantangan utama dalam hal ini adalah terkait bagaimana masalah agama ini ditanamkan pada diri Ayah dan Bunda sendiri. Selalu lihatlah ke dalam diri sendiri sebelum menyalahkan lingkungan. Seberapa pentingkah agama dalam hati dan kehidupan kita? Mungkinkah berharap anak yang salih saat kitapun tidak berusaha menjadi orang tua yang salih? Mungkinkah menginginkan anak yang rajin salat sedangkan Ayah dan Bunda tidak salat? Jadilah teladan yang terbaik bagi anak-anak kita terkait ibadah ini. Pelajarilah ilmu agama lebih banyak. Tumbuhkan kesadaran bahwa tujuan utama mendidik anak adalah menjadikan mereka penyembah Allah. Bagi yang sedang dalam proses pencarian pasangan, sepakatilah di awal pernikahan dengan pasangan untuk bersama-sama mendidik anak menjadi hamba Allah jika telah terlahir ke dunia kelak.

Tahukah Ayah dan Bunda, dalam proses pengasuhan ini, penanggung jawab utamanya ternyata adalah Ayah! Keterlibatan ayah untuk membentuk kebiasaan beribadah anak SANGAT PENTING! Anak yang mendapat keterlibatan pengasuhan ayahnya yang baik akan tumbuh memiliki harga diri yang tinggi, prestasi akademik di atas rata-rata, lebih pandai bergaul, dan saat dewasa akan menjadi pribadi yang senang menghibur orang lain. Maka wahai para ayah, kembalilah! Tugas ayah bukanlah sekadar mencari nafkah, namun juga sebagai penanggung jawab utama pengasuhan anak. Jika ayah terlalu sibuk bekerja—dengan alasan untuk kebahagiaan istri dan anak—maka tanyakanlah kembali pada diri: apa yang sebenarnya sedang ayah kejar? Apa yang ayah sebut dengan kebahagiaan anak dan istri tersebut? Tidak takutkah kelak dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah mengenai hal ini?

2. Mengasuh generasi Alfa
• Gen Y lahir pada rentang tahun 1980 – 1994.
• Gen Z lahir pada rentang tahun 1994 – 2009.
• Gen Alfa lahir pada rentang tahun 2010 – 2025.
- Mereka hidup dengan internet (belajar, bikin PR, makan olahraga, tidur).
- Semua serba cepat, instan, menantang dan menyenangkan.
- Mereka terbiasa multiswitching (melalui gadget).
- Mereka memiliki tata nilai yang berbeda.
Generasi yang akan kita didik saat ini adalah para Alfa. Jika generasi Alfa ini tidak dididik dengan metode yang tepat sesuai zamannya, maka akan sulit memasuki dunia mereka, bukan? Karenanya, Ayah dan Bunda tidak boleh abai dengan tantangan dan perkembangan zaman ya!

3. Beban pelajaran yang berat
• 70% anak masuk SD sebelum usia 7 tahun.
• 46% anak di sekolah 6 – 7 jam sehari.
• 25% sekolah masih memberi materi pelajaran formal setelah jam 12 siang.
• 52% guru di sekolah masih memberikan 1 – 2 PR.
• 18% anak mengikuti les mata pelajaran setelah pulang sekolah.
• 25% anak mengikuti les 2 -3 hari dalam seminggu.
• Standar kelulusan Indonesia tertinggi di dunia.
Dengan beban pelajaran yang berat bagi anak, kegiatan beribadah seringkali menjadi tidak diutamakan. Para orang tua mendidik anak mereka menjadi orang yang pintar secara akademik, namun hampa secara keimanan. Tanamkanlah tekad dalam diri, “Anakku harus salih dulu, baru pintar”. Jangan salahkan pula jika kemudian anak menjadi mudah emosi karena terlalu lelah di sekolah. Jangan pernah abaikan perasaan mereka. Hindari menasihati mereka saat emosinya sedang tidak baik. Orang tua juga perlu menyelesaikan emosi dengan dirinya sendiri, jangan sampai emosi kita kemudian berimbas kepada anak dan pasangan.
4. Peer Pressure
5. Ancaman dari agama dan kepercayaan lain
6. Perubahan nilai dari masyarakat kita

Mulai dari mana?

Selesaikanlan urusan dengan diri sendiri dan pasangan terkait urusan ibadah ini. Semua kebiasaan beribadah ini bermula dari Ayah dan Bundanya, jadilah role model yang baik dan idola bagi anak kita sendiri. Orang tua juga perlu mengenali keunikan serta tahapan perkembangan otak anak, sehingga metode yang disampaikan dapat sesuai dan tepat sasaran. Kenalkan ibadah pada anak dengan cara yang menyenangkan. Biarlah jika pada awalnya mereka suka sekali bermain air saat berwudhu hingga bajunya basah dan haruss diganti berkali-kali. Biarlah jika gerakan salatnya masih semaunya, suka menarik-narik sajadah, atau menganggu ayah bundanya saat sedang salat. Jangan dimarahi. Biarkan anak senang dan bahagia terlebih dahulu dengan praktik ibadah ini. Masukan target “bahagia” dalam proses pengasuhan anak. Mendidik anak memang harus disertai kesabaran yang tanpa batas. Tidak apa-apa, didiklah anak dengan cinta karena Allah semata. Jika anak senang beribadah, ia akan mau beribadah, kemudian menjadi bisa beribadah, dan terakhir menjadi terbiasa beribadah tanpa harus disuruh dan merasa dipaksa.

Untuk mengajari anak ibadah yang menyenangkan diperlukan niat baik, kejujuran, keterbukaan, serta kerjasama yang baik dari kedua orang tuanya, tidak bisa hanya salah satunya saja. Setelahnya, kombinasikan semua tekad itu dengan mengenali kepribadian anak, sesuaikan dengan cara kerja otak, bakat, serta seluruh kemampuan anak. Setiap anak kita adalah unik, otak anak baru berhubungan sempurna ketika berusia 7 tahun, sedangkan hubungan anatara sistem limbik dan corteks cerebri di otak baru sempurna pada usia 19-21 tahun. Butuh sekitar 20 tahun bagi orang tua untuk mendidik anak dengan baik, maka bersabar dan bersungguh-sungguhlah, karena Allah menyukai orang yang bersungguh-sungguh. Jangan menuntut anak untuk dewasa sebelum waktunya. Anak perlu menjadi anak untuk dapat menjadi orang dewasa, hilangnya masa kanak-kanak akan mengakibatkan masyarakat yang kekanak-kanakan. Bantulah anak-anak kita untuki mekar sesuai dengan usia dan kemampuan serta keunikannya. Ayah dan Bunda harus membuat kesepakatan dan kerjasama di awal, siapa pengambil keputusan dalam hal A dan B, buat perencanaan-pelaksanaan-evaluasi, buat target per anak, pembagian kerjasama, kontrol, dan selalu bermusyawarah dalam setiap keputusan yang melibatkan seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak. Ubah paradigma dan cara pandang kita, bahwa anak bukan saja harus bisa beribadah, namun juga suka beribadah.

Landasan Psikologis Anak

Anak Usia 5 – 8 tahun
Ibadah untuk anak usia ini bukanlah suatu kewajiban, tapi perkenalan, latihan, dan pembiasaan. Tidak ada kewajiban syar’i bagi anak untuk beribadah, namun ada kewajiban syar’i bagi orang tua untuk membentuk kebiasaan anak dengan cara yang menyenangkan. Didiklah anak dengan modal, misalnya belikan mukena yang disukai anak, membelikan baju koko baru agar anak rajin ke masjid, dan lain sebagainya. Jangan ragu mengeluarkan modal untuk keperluan beribadah kepada Allah swt. Jangan juga hilang kegembiraan anak usia 5 -8 tahun, masuki dunia anak dengan metode 3B: Bercerita/Berkisah, Bermain, dan Bernyanyi.
Landasan Psikologis Anak Usia 5 – 8 tahun:
• Mudah dibentuk.
• Daya ingat yang kuat.
• “Dunianya” terbatas.
• Meniru: orang tua/ situasi.
• Rasa persaudaraan sedunia.

Landasan Psikologis Anak Usia 9 – 14 tahun:
• Otak sudah sempurna berhubungan.
• Umumnya: Mukallaf.
• Emosi sering kacau.
• Tugas sekolah semakin berat (ditambah les).
• Banyak aktivitas, termasuk bermain internet dan games.
• Peer Pressure yang sangat kuat.
• Hal yang perlu diperhatikan pada usia ini antara lain:
- Fokus pada target tahun ini: tanggung jawab seorang yang sudah baligh.
- Perlakuan dan komunikasi sebagai teman.
- Bisa menjadi pendamping/ pembimbing adik-adiknya.
- Diberi tanggung jawab sosial: mengantar makanan untuk berbuka puasa, membayar zakat, dan kerja sosial yang mudah sesuai usia.
- Ajari anak untuk berwirausaha/ berdagang.

Landasan Psikologis Anak Usia 15 – 20 tahun:
• Prefontal Corteks hampir sempurna berhubungan.
• Dewasa muda.
• Semakin banyak aktivitas, games dan internet.
• Mulai mengenal pacaran dan pergaulan bebas.
• Orientasi semakin di luar rumah.
• Hal yang perlu diperhatikan pada usia ini antara lain:
- Fokus pada target tahun ini: dewasa muda, ajarkan fiqih pernikahan.
- Perlakuan dan komunikasi sebagai sesama orang dewasa.
- Bisa menjadi motivator dan pembimbing adik-adiknya.
- Jadikan ia penggerak/ koordinator kegiatan anak dan remaja masjid/mushala.

Setelah mengetahui landasan psikologis pada rentang umur anak, maka metode pembiasaan beribadah pada anak dapat disesuaikan dengan perkembangan dan cara kerja otaknya. Ayah dan Bunda harus terus belajar untuk bisa menjelaskan pertanyaan “mengapa?” dari anak, jelaskan apa yang saja yang menjadi perintah dan larangan Allah swt., serta manfaat dan ganjaran dari beribadah. Gunakan pendekatan kognitif secara ringkas serta contoh yang kongkrit pada anak, serta selalu gunakan Al-Qur’an dan Hadis sebagai referensi utama,. Teruslah bersabar dalam mendidik anak karena waktu persiapan setiap anak tidaklah sama, proses pengasuhan harus disesuaikan dengan usia, kemampuan, kondisi fisik, dan karakter anak.

Persiapkanlah diri Ayah dan Bunda untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Gunakanlah kata-kata yang memahami perasaan anak, lebih banyak mendengar aktif, hindari kata-kata yang menghambat komunikasi dengan anak, serta biasakanlah memberi kesempatan kepada anak untuk berpikir, memilih, dan mengambil keputusan. Jika saat ini anak kita dimanjakan oleh fasilitas: kamar pribadi, rumah yang luas, gadget, serta wifi dan akses internet yang tidak terbatas, jangan lupa ingatkan anak untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluannya, ingatkan bahwa meski Ayah dan Bunda tidak berada di rumah atau di sekolah, ada Allah yang tetap mengawasi dimanapun mereka berada. Sampaikan tips sukses pada anak yang tidak hanya berupa kemampuan akademik, namun juga berupa salat tepat waktu, sayang pada ibu, puasa Senin dan Kamis, serta mengaji setiap pagi dan sore.

Akhirnya, selamat berjuang! Miliki kekuatan kehendak, bayangkan, dan doakan anak-anak menjadi penyembah Allah yang taat. Semoga Allah karuniakan kita anak-anak yang salih dan salihah.

*dikutip dengan sadar dari Laman ASA Indonesia,  di keep dulu karna kusuka :D

Rejeki

Buat aku, kamu, kita yang masih khawatir bagaimana tentang hari esok. Bagaimana tentang kebutuhan yang semakin menuntut. Bagaimana tentang yang harus dipersiapkan bukan lagi hanya untuk beli fotokopian materi kuliah, bukan hanya untuk beli makan siang di warung nasi balap, bukan lagi hanya untuk nongkrong-nongkrong di bright cafe Udayana. Tapi lebih dari itu…

Ada beberapa prinsip perekonomian yang kita yakini masing-masing, bergantung dengan apa yg ia perjuangkan. Tuntutan kebutuhan keluarga kah. Hutang tunggakan keluargakah. Gaya hidupkah. Dan lain sebagainya. Kita tak perlu sama-sama tau. Karena kita tak boleh saling membandingkan bukan?

Tenanglah,

“rezeki kita itu akan mengejar kita seperti kematian mengejar kita”

Bersabarlah…

-Iin Wahyuningsi
Rumah, 13 Februari 2019

Bantu aku menjadi orang baik, agar aku bisa bersamamu dijalan kebaikan, dan bisa membantumu tatkala kamu berjarak dengan kebaikan

Jalan atau Tujuan?

Jalan dan tujuan, bahasa kerennya “end” dan “means to an end”, dan bahasa lebih kerennya lagi “al maqashid” dan “al wasilah”. Jalan dan tujuan adalah dua perspektif yang jauh berbeda dalam melihat mimpi dan capaian pribadi, baik dari segi materi maupun non-materi.
.

Menjadi kaya, misalnya. Apakah itu tujuan atau jalan? Jika kaya menjadi tujuan, maka setelah mendapatkan kekayaan berlimpah maka yang tersisa hanya kehampaan. Begitu juga dengan gelar pendidikan dan jabatan/pekerjaan. Setelah tercapai lalu apa? 
.

Maka sudah sepatutnya harta, ilmu, dan kekuasaan itu dijadikan jalan bukan tujuan. Harta kita menjadi jalan terbantunya sanak saudara yang kesulitan untuk membiayai pendidikan anak mereka. Ilmu kita menjadi jalan agar terwujudnya hidup yang produktif, efisien, dan terarah. Kekuasaan kita gunakan untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
.

Baru-baru ini saya mendengar nasihat pernikahan oleh Ustadz Abdul Somad (satu dari beberapa assatidz yang mahsyur di YouTube, yang ternyata bisa dihitung dengan jari jumlahnya). Beliau berpesan, “Jadikan pernikahan itu jalan, bukan tujuan!” Aku langsung tertegun. Proses dan tahapan dalam penyaringan calon, pendekatan, perkenalan keluarga, dan akhirnya perayaan dengan mengiklankan pada tetangga, saudara, kerabat dan sahabat hanya jalan. Ijab dan qabul itu jalan. Hidup berpasangan itu jalan, bukan tujuan.
.

Pernikahan itu jalan menuju kemana? Jika dibayangkan (tentu yang menulis belum menikah), maka ada banyak hal yang fundamental terjadi setelah pernikahan. Tidak heran sebenarnya saat menikah dimaknai dengan menyempurnakan agama yang separuh lagi karena ilmu, niat, dan amal tidak lagi untuk pribadi tapi kolektif. Walaupun dalam skala kolektif terkecil (dua orang), ada tanggung jawab dan ke-saling-an yang dituntut dalam ikatan pernikahan. It’s no longer all about you, but about us.
.

Pernikahan per se tentu memberikan kebahagiaan saat dirayakan, tapi pernikahan itu jalan bukan tujuan. Jadi, jangan berhenti pada uforianya saja. Banyak orang bahagia karena jalan tol membuat perjalanan jadi lebih cepat dan lancar, tapi tidak ada yang mau bertahan dan nongkrong lama-lama di jalan tol karena tidak ada apa-apa di sana. Jalan tol ada untuk membawa kita pada tujuan. 
.

Jika pernikahan adalah jalan tol adalah untuk mempercepat kita mencapai tujuan maka yang perlu kita ketahui adalah kondisi bahan bakar (atau letak SPBU), kendaraan prima, dan tentunya fokus dan ilmu dalam berkendara.
.

Menentukan pola pikir/pendekatan “jalan atau tujuan” sebelum bertindak atau mengambil keputusan adalah cara sederhana untuk terus menyiapkan diri dalam mindset pembelajar yang visioner.
.

Tapi kalau dipikir-pikir semakin kita dewasa maka banyak pilihan hidup jatuh pada kategori “jalan”. Dulu waktu sekolah dasar dan menengah, mindset kita sering kali adalah tujuan, misalnya setelah dapat ranking dan dibeliin hape atau motor, selesai cerita. Bahkan dalam mencari kampuspun, sebagian kita menjadikannya tujuan. Belajar yang serius dan ngurangin hal-hal ga berfaedah selama setahun penuh… yang penting masuk UI, ITB, atau UGM. Setelah masuk eh malah kayak orang bingung dan kehilangan nafsu belajar. Bayangkan, bagaimana bila menjalin hubungan dengan calon pasangan lalu menjadikan pernikahan adalah “tujuan”? Jangan sampai.
.

Akhirnya, bila semua pilihan hidup yang kita ambil adalah “jalan” menuju kebaikan yang lebih besar (for a greater good), tentu hidup akan terus menarik dan dijalani dengan kesabaran. Semoga kita terus bisa mengingatkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita untuk terus berjuang “for the greater good” dan akhirnya menuju husnul khatimah dengan timbangan amal yang berat.

-Iin Wahyunungsi
Rumah, 2 Februari 2019