Sebelumnya, saya memohon maaf jika
mungkin tulisan saya menyinggung. Saya tidak bermaksud menyinggung
siapapun, hanya ingin menceritakan sesuatu yang semoga menjadi pengingat
bagi saya sendiri khususnya sebagai muslimah sekaligus sebagai (calon)
pengusaha in sya Allah. Cieee…
Kita hidup di
jaman di mana hijab menjadi sebuah trend. Menutup aurat bukan lagi
sebuah keanehan dan perempuan berpakaian syar'i sudah menjadi
pemandangan familiar. Sekitar belasan tahun ke belakang, menutup hijab
adalah hal yang janggal, aneh, dan seringkali di larang.
Kemudian kebutuhan akan hijab menjadi meningkat di masyarakat. Bagi
orang - orang yang bisa melirik peluang, bau uang sudah tercium dan
pasar hijab, saya juga pernah mencoba bermain di dalamnya dulu dan
akhir-akhir ini, and seriously, menjanjikan! Kata seorang customer
desain saya yang mantan direktur marketing salah satu perusahaan hijab
(syar’i) lokal terbesar di Indonesia, justru karena banyaknya saingan,
itu menandakan bahwa pasar hijab begitu banyak. Jika tidak ada peluang
pasar di dalamnya, tidak mungkin pengusaha - pengusaha merambah ke dunia
itu. Tentu saja, perdagangan hijab berkelas - kelas, dari kelas Pasar
Baru dan Gasibu hingga Saphira atau Zoya. Dari yang setipis saringan air
hingga yang syar’i seperti milik Rabbani atau Nibras Hijab.
Banyak hal positif dari bisnis hijab. Muslimah - muslimah Indonesia
tidak lagi kesulitan menutup aurat. Simbiosis mutualisme antara produsen
dengan masyarakat bukan?
Saya tidak akan membicarakan hijab, tapi lebih kepada bisnis kecantikan lain yang berawal dari populernya hijab.
Ceritanya,
hari Selasa lalu dalam mata kuliah Design Thinking, kami diminta
presentasi mengenai branding bisnis atau rencana bisnis kami masing -
masing. Salah satu teman saya mempresentasikan bisnisnya yang berupa
kerudung printed. Scarf printed memang sedang populer, terutama jika
desainnya dari brand terkenal seperti Ria Miranda. Motifnya biasanya
bunga - bunga, dengan warna pastel yang syahdu, manis sekali walaupun
saya tidak pernah ingin mengenakannya. O ya, karena printing kain masih
mahal sekali, yang saya tahu, hijab printed biasanya berukuran kecil
kecuali dari brand milik Gaida.
Saya hanya fokus pada teknis dan
proses brandingnya ketika Profesor kami dengan agak sungkan
bertanya, “saya ingin bertanya pada kalian yang berhijab di sini. Hijab
itu kan untuk menutupi aurat ya, nah kerudung bercorak warna warni gini
kan membuat perempuan jadi cantik dan memikat banyak laki - laki. Itu
gimana ya, bukankah hukumnya justru tidak boleh demikian dalam Islam?
Saya tidak tahu ini ya, tapi bahkan brand W**d*h juga membuat seakan
perempuan tuh harus (dandan) cantik, begini, begitu.”
Terus terang
saya merasa ditampar. Hal ini membuat saya berpikir lebih jauh lagi.
Pengusaha kebanyakan akan melihat kecantikan yang seakan Islami dari
sisi peluang. Serius deh, saya juga pernah bekerja di perusahaan
kosmetik yang disebutkan dosen saya itu (walaupun saya tidak mengerjakan
project decorative, tapi skin care). Bisnis muslimah adalah pasar besar
yang dilirik banyak orang. Di sana kita bisa jualan apa saja, asal
brand ambasadornya berhijab dan ada label halal, seakan - akan semuanya
sudah memenuhi syarat menjadi muslimah.
Wardah adalah yang
mengawali penjualan kosmetik dengan label halal, dan memang tujuannya
demikian, memberikan garansi dan rasa aman pada santri yang ingin
merawat kulitnya (merawat kulit, bukan berhias) karena banyak kosmetik
yang tidak halal bahkan najis. Di jaman ini, semuanya bergerak sesuai
dengan perkembangan pasar dan bisnis. Banyak brand kecantikan kemudian
ikut-ikutan menggunakan label halal dengan bintang iklan berkerudung
demi menarik minat pasar muslimah, padahal belum tentu secara syariah
yang dipamerkan di televisi dan media itu diperbolehkan.
Tentu
saja, bisnis yang mendukung muslimah ini banyak manfaatnya. Kita jadi
mengerti bagaimana harus berpenampilan baik, kita jadi mudah merawat
diri, dan yang jelas ini adalah ladang rejeki bagi banyak sekali orang
dan bidang.
Yang menjadi kontroversi adalah ajang Putri Muslimah,
yang diprotes banyak orang karena membawa nama muslimah tapi memamerkan
kecantikan di depan khalayak. Sponsor memberinya sponsor bukan karena
mendukung kegiatan tersebut, tapi karena takut kesempatan menjadi
sponsor direbut oleh kompetitornya. Lagi lagi kepentingan marketing.
Saya
sendiri bukan yang sudah mengenakan hijab syar’i (semoga suatu hari
nanti), saya juga masih sering berhias dan berdandan, karena begitulah
kecenderungan wanita : ingin berhias dan terlihat cantik. Bagi saya,
sulit sekali mengenyahkan nafsu ingin kelihatan cantik. Barangkali
banyak perempuan juga begitu.
Lalu apa ujung dari tulisan ini?
Sebenarnya lebih kepada mengingatkan diri sendiri dan barangkali teman -
teman yang mengamati hal yang sama, bahwa kita perlu lebih berhati -
hati. Dalam jaman yang begitu dinamis dan kapitalis, banyak sekali
produk yang dengan mudah akan memuaskan nafsu kita berhias.
Saya sendiri masih kebayang - bayang untuk membeli lipstik warna merah menyala. Tentu
saja perempuan boleh berhias, tapi dengan batasan - batasannya. Dan
batasan ini sesungguhnya mutlak sesuai tuntunan agama, namun
pengaplikasiannya begitu relatif sesuai
dengan yang mau kita percaya.
Duh,
pada akhirnya, tulisan ini mengkritik diri saya sendiri yang kerap
tidak peduli bahwa apa yang saya kenakan jauh dari kewajiban muslimah.
Sekali
lagi saya mohon maaf jika ada yang tidak sepakat. Kita bisa berdiskusi
di belakang, karena fenomena bisnis muslimah ini sangat menarik bagi
saya.
Wallahualam Bissawab.
(Via JagungRebus)