Kamis, 23 Juni 2016

dari dapur, lahir rasa cinta dan rindu yang begitu legit

Entah bagaimana bisa, setiap perempuan yang dulu katanya tidak bisa memasak ketika menjelang pernikahan. Mereka tiba-tiba bisa dengan seiring berjalanannya waktu. Setidakbisa apapun ibu “bermain” di dapur, pasti ada saja satu atau dua karya tangannya yang kita sukai. Meski itu sesederhana teh hangat.
Ada milyaran cinta di masakan ibu yang kita rasakan. Seolah-olah ingin mengenyangkan kerinduan kita pada setiap mili-cinta yang tidak kita temukan di warung-warung dan restoran mewah. Ada candu yang membuat kita begitu rindu kepada rumah untuk segera pulang demi mencicipi masakan ibu.
Saya belajar bahwa bentuk ibadah seorang perempuan yang sudah menikah itu sangat unik. Tidak seperti laki-laki yang harus benar-benar pergi ke masjid dan sebagainya. Bentuk ibadah perempuan menjadi sesederhana mengaduk gula saat membuat minuman. Membuka pintu dengan senyuman. Atau ketika ia dengan senang hati membereskan pakaian yang kotor dan lantai yang berdebu.
Melihat ibu yang demikian, aku belajar untuk tidak pernah menyia-nyiakan apapun yang beliau buatkan. Karena aku tahu, rasa bahagia ketika setiap sajiannya habis dengan lahap olehku.
Karena semua pemahaman ini berawal dari masakan ibu. Yang penuh cinta dan ketulusan. Yang akan menjadi saksi bahwa ibu telah melakukan yang terbaik untukku. Sekarang giliranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar