Senin, 27 Juni 2016

Kalau kita berdoa, jangan lupa minta pertolongan Allah untuk menjaga diri kita. Karena sampai hari ini, tanpa pertolongan Allah, kita akan kewalahan menjaga diri.
Menjaga hati, diri, dan segenap pikiran dari hal hal yang zaman sekarang terlihat biasa, padahal Allah tidak suka.
Karena kalau hari ini kita adalah orang orang yang begitu rapih menjaga pertahanan diri, itu bukan karena kita hebat, bukan karena ilmu kita tinggi dan tau banyak, bukan juga karena lingkungan kita shalih luar biasa.
Itu semua Allah kan yang ngasih kemudahan. DimudahkanNya hati kita merasa tentram dengan hal hal yang Dia suka, dimudahkanNya diri kita untuk menutup setiap jengkal tubuh kita dengan rapih, dimudahkanNya kita mengontrol pikiran dari hal hal yang buruk. Semua dimudahkanNya. Maha Baik kan?
Huhu..
#kemudianTerharu
Semua karena pertolongan Allah. Semua dari Allah. Tanpa bantuan Allah, kita entah seperti apa.
Jangan pernah pandang remeh orang orang yang sampai hari ini masih kesulitan menutup apa apa yang perlu ditutup. Mereka mungkin lebih banyak berdoa untuk orangtua sehingga lupa berdoa untuk diri mereka sendiri. Atau mungkin mereka telah berdoa minta Allah jaga, tapi hidayah itu tidak mereka jemput, dari buku buku, dari alquran, dari ceramah dan nasehat para ulama atau dari kajian yang sering lupa mereka hadiri.
Jadi bersyukurlah atas penjagaan yang Allah berikan. Nikmat seperti ini sangat susah didapat. Nikmat begini lebih mahal dari drone, mirrorless, graphic tablet, dan bahkan dari dunia sama isi isinya. Jemput terus hidayah itu dari kesempatan kesempatan yang Allah tebarkan untuk kita setiap hari.
Jaga diri baik baik, dan istiqomahlah. You have come this far, dont give up now. Selalu ada hadiah dari Allah bagi orang yang menjaga.
Selamat berdoa dan menjaga, untuk kita💪⚡
#edisiHijrah
#ehTernyataMasihJalanDitempat
#mariPerbaikiUlangNiatKita
#bukanShafAjaYangPerluLurus
#tapiNiatJugaWajibLurus

mataram, potongan keduapuluhtiga Ramadhan

Kamis, 23 Juni 2016

dari dapur, lahir rasa cinta dan rindu yang begitu legit

Entah bagaimana bisa, setiap perempuan yang dulu katanya tidak bisa memasak ketika menjelang pernikahan. Mereka tiba-tiba bisa dengan seiring berjalanannya waktu. Setidakbisa apapun ibu “bermain” di dapur, pasti ada saja satu atau dua karya tangannya yang kita sukai. Meski itu sesederhana teh hangat.
Ada milyaran cinta di masakan ibu yang kita rasakan. Seolah-olah ingin mengenyangkan kerinduan kita pada setiap mili-cinta yang tidak kita temukan di warung-warung dan restoran mewah. Ada candu yang membuat kita begitu rindu kepada rumah untuk segera pulang demi mencicipi masakan ibu.
Saya belajar bahwa bentuk ibadah seorang perempuan yang sudah menikah itu sangat unik. Tidak seperti laki-laki yang harus benar-benar pergi ke masjid dan sebagainya. Bentuk ibadah perempuan menjadi sesederhana mengaduk gula saat membuat minuman. Membuka pintu dengan senyuman. Atau ketika ia dengan senang hati membereskan pakaian yang kotor dan lantai yang berdebu.
Melihat ibu yang demikian, aku belajar untuk tidak pernah menyia-nyiakan apapun yang beliau buatkan. Karena aku tahu, rasa bahagia ketika setiap sajiannya habis dengan lahap olehku.
Karena semua pemahaman ini berawal dari masakan ibu. Yang penuh cinta dan ketulusan. Yang akan menjadi saksi bahwa ibu telah melakukan yang terbaik untukku. Sekarang giliranku.

Senin, 20 Juni 2016

Tak terasa sudah memasuki setengah ramadhan, rembulan malam  ini adalah rembulan penuh. Bagi teman-teman yang sempat menyaksikan langit malam ini yang cerah, akan tampak begitu manis rembulannya. Di tengah nikmatnya melihat rembulan tadi malam. Kita mungkin menjadi sebagian kecil umat yang bisa menikmatinya.
Di tengah begitu banyak ujian yang menimpa orang lain. Kita adalah orang-orang yang tidak pernah pantas untuk mengeluhkan hidup ini sebenarnya. Terlalu banyak nikmat yang kita dapatkan dibandingkan dengan apa-apa yang kita khawatirkan.
Ramadhan ini berlalu begitu cepat, tak terasa mungkin besok tiba-tiba sudah hari raya. Dan kitapun tenggelam dalam euforianya, lupa berempati, dan kembali lagi ke kebiasaan-kebiasaan lama. Sangat disayangkan bila ibadah selama ini pun hanya sebagai bentuk euforia.
Kemarin di Masjid Kubah Biru
, barisan shalat isya dan tawarih pun semakin “maju”, artinya semakin sedikit. Dan hampir selalu terjadi dimana-mana, pertengahan ramadhan sebagian besar masjid berkurang jamaahnya. Sahur pun malas-malasan. Dan berbagai indikasi penurunan lainnya.
Mengapa selalu demikian? Seolah-olah ramadhan ini memang sebuah perayaan dengan euforia yang naik turun. Menjalaninya bukan dengan sebuah kesadaran bahwa ini adalah bulan yang berkah dan penuh rahmat. Hanya sekedar menjalani dan ikut meramaikan suasanannya.
Seperti toko-toko baju yang memajang aneka hiasan bernuansa ramadhan, iklan-iklan yang bernuasa sama, semuanya hanya ikut merayakan euforianya. Tidak memberikan esensi dan makna yang tepat. Jangan-jangan kita pun salah dalam menetapkan niat dan memaknai ramadhan ini hanya sebagai sebuah ritual ibadah, tidak lebih dari itu. Mari renungkan kembali.

potongan ke 15 bulan Ramadhan