Jumat, 22 April 2016

Ketika Dia dan Dia mengatakan “iya”



Dalam sebulan terakhir ini aku bersyukur sekali, sebab namaku masuk kedalam daftar undangan hari penting mereka, iya mereka; laki-laki dan perempuan yang dalam moment special itu duduk bersanding, berdua, dengan pakaian yang semoga akan dikenakan sekali sepanjang hayat.
Menyenangkan sekali aku diberikan kesempatan sebagai saksi dari sebuah janji yang teramat suci, janji ‘penyerahan diri’ pada masing-masing diri kepada yang terpilih. Ada sebuah ‘debar’ disana, hari yang mampu menghipnotis orang-orang disekitarnya hingga mampu membuat tersenyum, gembira, penuh canda tawa, dan suasana yang penuh dengan kebahagiaan, aku menyaksikan dan merasakannya.
Selalu merasa takjub, dengan mereka yang akhirnya mengambil langkah ‘pemutusan ego’, memilih menyerahkan sisa usia kepada belahan jiwa. Sebab tak semua Hamba Allah anugrahkan perasaan itu dan juga keadaan itu.
Terlalu banyak rasanya kisah yang aku dengar tentang bagaimana ‘terjal’ dan tak mudahnya mendaratkan diri pada posisi yang bernama pelaminan, sehingga sering melahirkan rasa meringis, terenyuh bahkan tak menyangka. Ya, jalan itu begitu tak terduga, jalan seseorang mengatakan ‘iya’  pada yang lain.
Pernah suatu ketika, kami duduk dan berbincang; tidak hanya perempuan, perbincangan yang rasanya begitu menjadi ternding topic pada kami yang akan memasuki usia 25an; menikah, calon pendamping, dan ‘kesendirian’. Aku tertarik sekali ketika kami yang notabene memiliki prinsip tak berpacaran ini berbicara, satu sama lain, tentang keyakinan dalam kepasrahan yang mungkin menurut mereka cukup ‘memprihatinkan’ atau danger  atau bahkan begitu rahasia. Saat itu porsi yang jomblo begitu mendominasi; laki-laki dan perempuan, mereka berbicara tentang usia yang memang sudah selayaknya untuk menikah, berbicara satu sama lain, dan aku mendengarkannya.
Ternyata tak semudah itu untuk mereka yang tau tentang ‘kesendiriaan’ masing-masing memutuskan untuk mencoba atau bahkan mengatakan ‘iya’ pada yang lainnya, seperti ada sekat yang bernama kriteria dan keinginan di masa depan diantara meraka. Namun, bolehkah aku menambahkannya satu hal? Sebut saja ia sebagai ‘kecondongan hati’.
Terdapat kerja ajaibnya Allah disana, ketika Ia dengan mudahnya menautkan satu hati kepada hati yang lainnya sehingga dia dan dia megatakan ‘iya’ untuk bersama-sama mempercayakan sisa usia. Mungkin ini juga yang menjadi sebab mengapa aku selalu antusias menghadiri moment special mereka, sesederhana apapun, kapanpun, sebab aku selalu merasa penasaran bagaimana ‘jalan’ Allah mencondongkan hati mereka..

Rumah, 17 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar