Sore ini
langit dan bumi begitu riuh dengan riak-riak rahmat yang turun dari atas
menghempas tanah dan dedaunan, aku menengadah, memejamkan mata, menghirup udara
basah dengan leluasa, fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban…
Hari ini tak
seperti waktu itu, hanya melihat ia menggeliat di balik jendela, aku menyandarkan
diri pada sebuah kursi dan menetap disini. Ragaku mungkin terlihat diam, hanya
duduk menatap langit yang menjatuhkan bulir-bulir cinta dari Nya, namun tak
begitu dengan pikiranku. Mereka seolah begitu menggeliat dalam benakku,
wajah-wajah itu bermunculan satu persatu, dengan apa yang telah mereka lakukan,
apa yang telah aku lakukan untuk mereka, dan tentu saja tentang kami yang
berada pada ‘naungan atap’ ini.
Aku setuju bahwa
ilmu adalah cahaya yang berpendar dan menghiasi pemiliknya, memberi pencerahan
pada ruang-ruang yang gulita dan mata sebelum terbuka. Aku juga sepakat bahwa
membagikannyapun laksana memberi ruang atau jalan bagi yang lain, selain
mengokohkannya pada pemiliknya. Namun terkadang ‘memberikan jalan’ itu tak
semudah ekspektasi dalam batok kepala, ketika inginnya begini dan begitu,
harusnya begini dan begitu, kemudian yang lain berkata ‘ini’ dan ‘itu’ kemudian
bla bla bla .. Apa yang harus aku lakukan? Perjalanan memang tak selalu
mudah, ada ketulusan yang harus mengalahkan ego disana.
Maka ‘akan
seperti apa nanti?’ Tentu suatu pertanyaan yang hampir sama dengan ‘apa yang
sudah kau lakukan hari ini?’
Sebab keimanan
menuntut pemiliknya untuk terus memberi sebanyak-banyaknya, bermanfaat
seluas-luasnya, maka hati, jangan pernah lengah dan jangan pernah lelah, sebab
Allah besertamu…