Jumat, 08 Mei 2020
Senin, 20 April 2020
Sabtu, 18 April 2020
Saya : ga capek Kak nyariin barang-barang Adek yang adek sendiri lupa dimana naruhnya?
Kakak : ya capek. Sampai Kakak rasanya pengen bikin etalase "ditemukan barang sebagai berikut..."
Heheheheheh
----
Satu hari seperti biasanya, saya lupa dimana taruh kunci rumah. Posisinya adalah kami di luar rumah, sehabis pergi, mau masuk ke dalam rumah lagi.
Saya : aduh perasaan tadi ta taruh tas deh kuncinya..
Kakak : kebiasaannya kumat itu~
Saya : *korek-korek isi tas*
Masih saya : ngeluarin barang-barang yang ada di tas
Dan lagi-lagi, ya, ini Saya: hehehe akhirnya ketemu
Kakak : Tahu gak Dek, kalau kita ada di film zombie, kita udah mati. Kegigit zombie!
Heheheheheh...ya maap.
Ketenangan Hati
Sampai kemarin saya ditegur sama Allah sewaktu datang ke sebuah kajian. Kehilangan harta adalah sesuatu yang paling ringan ujiannya, ada yang lebih berat dari itu yaitu kehilangan ketenangan hati.
"Ketenangan hati itu datangnya dari Allah, mintanya ke Allah. Bukan minta pada materi. Apakah setelah punya banyak uang menjamin ketenangan hati? Kalian pikir orang kaya banyak uangnya pasti bahagia? Kalau kita sandarkan kebahagiaan itu pada harta, hati-hati syirik."
Jleb. Jleb buat saya yang kelimpungan ini.
Mintanya ke Allah. Saya masih takut sama nggak punya uang. Padahal segala sesuatu sudah dijamin sama Allah. Saya masih takut aja...takut banyak hal, ternyata Allah sedang mencabut nikmat ketenangan hati itu dari saya.
Sedih sih. Menerima kenyataan bahwa diri ini sungguh sudah salah meletakkan persepsi akan lebih tenang dan enak hidup ini kalau ada 'uangnya'. Siapa yang menjamin?
Haha terngiang kata-kata si Kakak kalau saya lagi suka ndableg : "kaya ndak punya Tuhan aja kamu itu!"
Hehehehe....
Selasa, 14 April 2020
Takdir-takdir yang Tertunda
Beberapa hari lalu, saya membaca secuplik tulisan yang ditulis oleh seorang penulis dalam Instastory yang diunggahnya. Dalam sebuah panel disana, beliau menuliskan,
“Ketidakpastian itu memang selalu jadi ketakutan manusia. Bukankah kita selama ini berusaha keras untuk mengontrol keadaan, membuat sesuatu bahkan orang lain berada dalam kendali kita. Kita membuat rencana-rencana yang teliti. Kita membuat strategi dan siasat. Semua itu nampak sia-sia. Kita kini bahkan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Sebelum ini, kita tak mengenal tawakal. Sebelum ini, kita tak pernah mengenal pasrah. Sebelum ini, kita adalah orang yang penuh gairah untuk menjalani hari demi hari. Kini, kita takt ahu apa-apa.” – Kurniawan GunadiKalimat demi kalimat yang ditulis disana membuat saya berpikir dan merenungi banyak hal, tak hanya yang berkenaan dengan diri sendiri, namun juga orang lain dan tentunya orang-orang di sekitar. Kalimat itu benar. Betapa tidak, saat ini kita memang seolah tidak memiliki gambaran tentang bagaimana hari-hari kita di depan akan bergulir. Tidak hanya itu, kita pun sedang dipaksa akrab dengan berbagai ketidakpastian. Rasanya, semua serba tanda tanya, entah apa dan bagaimana jawabannya. Ada kelulusan yang entah ditunda sampai kapan. Ada sidang tugas akhir yang entah bagaimana bisa dikejar. Ada khitbah yang mau tidak mau harus ditangguhkan. Ada pekerjaan yang hilang, yang entah kapan penggantinya akan datang. Ada pula ketetapan-ketetapan lain yang kita tunggu, namun tak pernah ada yang pasti tentang kapankah ia akan datang. Apakah kamu sedang merasakannya? Hal apa yang kini sedang kamu tunggu dan sudah mulai meresahkanmu?
Entah bagaimana, kondisi pandemi yang mendunia ini sedikit banyak menggoda kita untuk mulai menyalahkan Corona atas apa-apa yang terjadi di luar rencana kita, “Lulus ditunda nih, gara-gara Corona. Khitbah terancam diundur nih, gara-gara Corona. Naik gaji enggak jadi nih, gara-gara Corona. Aku resign nih, gara-gara Corona. Agenda hidup jadi berantakan nih, sebel banget, gara-gara Corona.” Begitulah, semua gara-gara Corona. Tapi, apakah memang benar bahwa semua penundaan, penangguhan, atau pembatalan itu terjadi gara-gara Corona?
Kalau kita mengedepankan emosi dalam berpikir mengenai segala ketetapan takdir atas diri kita saat ini, mudah sekali kiranya bagi kita untuk setuju bahwa semua yang tak sesuai dengan apa yang pernah kita doakan, harapkan, dan rencanakan ini memang gara-gara Corona. Namun, ketika kita menggeser sudut pandang dan menggunakan lensa iman sebagai landasan cara pandang kita atas semua ini, kita akan temukan bahwa sejatinya, dengan atau tanpa adanya Corona, segala ketetapan takdir-Nya atas diri kita sudah ditetapkan-Nya dengan sempurna sedemikian rupa, bahkan sebelum kita terlahir ke dunia. Dalam hadist At-Thirmidzi bahkan disebutkan bahwa berkenaan dengan hal-hal seperti ini, pena telah diangkat dan tintanya pun telah mengering.
Yup! Bukan Corona yang datang mengubah atau menunda kedatangan takdir. Namun, kedatangan Corona itu sendiri pun telah menjadi bagian dari ketetapan takdir. Tanggal sidang, kelulusan, menikah, naik gaji, menerima pekerjaan baru, dst, semua sudah Allah tetapkan. Maka, tidak produktif kiranya jika kita saat ini sibuk menyalahkan Corona atau bahkan menyangkal takdir. Sebaliknya, hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah tetap menuggu dengan sabar dan tetap berupaya lagi, berdoa lagi, juga berbaik sangka lagi kepada Allah. Tenang, sebab Umar bin Khattab pernah berkata,
“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”Tidak mudah memang. Sebab, bagaimana pun kita terbiasa untuk memiliki kehendak-kehendak diri. Tidak hanya itu, mungkin kita pun terbiasa untuk bersandar pada kehendak-kehendak itu hingga melupa bahwa Allah pun memiliki kehendak dan hanya kehendak-Nyalah yang menjadi sebaik-baik kehendak. Tidak apa-apa, barangkali memang inilah saatnya bagi kita untuk menundukkan hati dan jiwa untuk kemudian kembali berserah dan berbaik sangka kepada-Nya. Selama bersama-Nya, tak ada apapun yang akan terjadi selain dengannya kita beroleh kebaikan, bukan? Tetap semangat, ya! Jika suatu ketika kamu lelah, ingatlah bahwa tak ada setetes air mata pun yang akan disia-siakan-Nya. Semoga Allah melapangkan jiwa kita semua. Baarakallahu fiik.
“Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?” – Ibn Atha’illah, dalam Al-Hikam