“Ayah, sebenarnya saat kecil dulu aku punya satu cita-cita sebelum aku berubah haluan dengan berkuliah di bidang kedokteran.” Ucapmu tiba-tiba kepadaku yang duduk di samping kasur tempatmu berbaring.
.
“Benarkah? apakah cita-cita masa kecilmu itu?” Tanyaku menimpalimu.
.
“Dulu aku bercita-cita menjadi tentara. Tapi dengan kehendak Allah seperti saat ini, aku merasa beruntung mengubah haluan cita-citaku. Kalau tidak, mungkin aku akan menyimpan kecewa atas takdir Allah.” Jawabmu menjelaskan.
.
“Memangnya apa yang salah dengan cita-cita masa kecilmu itu?” Tanya penasaran.
.
“Karena salah satu syarat menjadi tentara tentunya adalah mempunyai fisik yang sehat dan prima. Satu syarat yang susah kupenuhi dengan kondisi seperti saat ini. Lalu kemudian aku beralih dengan berkuliah di bidang kedokteran. Kalaupun tak sampai juga karena kondisi saat ini, aku tak meninggalkan sesuatu apapun untuk disesali. Makanya aku merasa beruntung Allah menggerakkan hatiku beralih cita-cita, sehingga aku tak terlalu susah menerima takdirNya ini.” Ucapmu menerangkan alasan.
.
Aku sejenak tertegun mendengar ucapanmu itu. Allah mengaruniakanmu menjadi anak tunggal dari pernikahanku dengan ibumu. Kemudian di usiamu yang baru setahun berkuliah, Allah menghendakimu mengidap penyakit. Kau menderita Leukemia Limfosit Kronis. Penyakit yang sebenarnya lebih sering menyerang usia diatas 50 tahun. Dan yang menjadi lebih ironis bagiku dan ibumu, adalah karena kau sedang berkuliah di bidang kedokteran. Kau ingin jadi dokter yang membantu mengobati orang lain, tapi Allah menakdirkanmu sering berbaring di ranjang rumah sakit. Hampir genap tiga tahun sejak kau mengidap penyakit ini. Tapi aku beruntung mempunyai anak sepertimu. Kau begitu sabar sejak pertama kali mengetahui kau mengidap penyakit ini. Aku hampir tak pernah mendengarmu mengeluh dengan kondisimu ini.
.
“Mengapa tidak. Kau tentu bisa menjadi tentara bahkan dengan kondisi saat ini.” Jawabku kemudian diiringi keheranan yang tampak di wajahmu yang pucat pasi.
.
“Maksud Ayah?” Tanyamu heran.
.
“Kau bisa menjadi tentara. Tapi tentaranya Allah. Allah tak pernah meminta syarat pada bentuk dan kondisi fisik seseorang untuk menjadi tentaraNya.” Jawabku menebus keherananmu.
.
“Tapi amalku juga tak bisa sebanyak mereka yang memiliki kondisi fisik lebih baik dariku.” Jawabmu seakan lesu.
.
“Kata siapa? Di luar sana banyak sekali orang yang berfisik prima tapi lalai dari Allah. Sedangkan kulihat kau tak pernah putus dengan dzikir, tilawah dan ibadah-ibadah lainnya di tiap waktu.” Jawabku mencegah rasa pesimismu.
.
Kau tertegun mendengarkanku. Sesaat kemudian bibirmu bergumam pelan mengucap istighfar. Aduhai beruntungnya aku mempunyai anak shalih sepertimu.
.
“Jadilah tentara Allah dalam kondisi apapun. Jadilah bagian kafilah yang bergerak di bawah panji Rasulullah. Semua tentara Allah itu tangguh dan pakaiannya gagah. Mereka berjalan dalam barisan yang dipimpin Rasulullah yang paling tangguh dan gagah diantara semuanya. Tak ada yang kecewa jika menjadi tentara Allah. Tentara Rasulullah.” ujarku dengan menatap lekat ke kedua matamu.
.
Mendengarnya, kulihat matamu nanar. “Ayah, ceritakan padaku kegagahan Rasulullah dengan perlengkapan perangnya seperti sering kau ceritakan saat aku kecil dulu. Aku ingin menghadirkan gambaran kegagahan Rasulullah di kepalaku sebelum tidur malam ini.” Ujarmu meminta.
.
Lantas kugenggam jemarimu dan membenarkan posisi dudukku.
.
“Rasulullah memiliki beberapa pedang. Setiap pedangnya memiliki nama. diantaranya adalah Al Mathur, ialah pedang yang diwarisi dari ayahnya Abdullah. Selain itu ada Al Adb, Al Battar, Qal'i dan Al Qadib. Dan yang paling terkenal dan legendaris adalah Dzulfikar, seperti namamu. Pedang dengan dua mata ini dibawa Rasulullah ketika memasuki Makkah saat peristiwa Fathul Makkah.” Ujarku bercerita.
.
“Gagang hulu pedang Rasulullah terbuat dari perak. Pedangnya adalah jenis hanafiyyah. Dibuat oleh Bani Hanifah, pembuat pedang yang paling bagus dan halus. Begitu bagusnya pedang Rasulullah, banyak sahabat meniru bentuk pedang Rasulullah. Diantaranya adalah sahabat Samurah bin Jundub. Ibnu Sirin seorang tabi'in bahkan membuat pedangnya mirip dengan kepunyaan sahabat Samurah bin Jundub karena Ibnu Sirin tahu pedang Samurah mirip dengan pedang Rasulullah.”
.
“Selain itu, baju-baju besi Rasulullah juga memiliki nama. Beliau memiliki tujuh baju besi. Diantaranya adalah Dzatul Fudul, baju besi yang digadaikan beliau kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ bahan makanan untuk makanan keluarganya. Selain itu ada Dzatul Wishah, Dzatul Hawashi, As Sa'diyyah, Fiddah, Al Batra’, dan Al Khirniq. Beliau juga memiliki helm yang terbuat dari besi yang bernama Al Muwashah.” Lanjutku bercerita.
.
Kulihat matamu terpejam. Sepertinya kau sedang membayangkan Rasulullah di kepalamu melalui cerita yang kusampaikan. “Gagah sekali Rasulullah.” Ujarmu bergumam dengan tetap memejam mata.
.
“Anakku, tahukah kau ada baju besi yang lebih tangguh dari semua baju besi yang dimiliki Rasulullah itu?” Ujarku kemudian.
.
“Apakah itu?” Tanyamu ingin tahu.
.
“Bukan apa, tapi siapa. Dialah Thalhah bin Ubaidillah. Kepahlawanannya semerbak harum sepenjuru Gunung Uhud. Dia adalah baju besi yang melindungi Rasulullah di perang Uhud. Saat itu barisan pasukan Islam goyah tersebab ketidakdisiplinan regu pemanah. Pasukan musuh berhasil merangsek hingga hampir mendekati Rasulullah. Saat itu ada 11 prajurit Anshar dan Thalhah yang seorang Muhajirin. Mereka melingkar melindungi Rasulullah.” Ujarku bercerita.
.
“Lalu satu persatu prajurit Anshar gugur saat melindungi Rasulullah dari serangan musuh hingga tersisalah Thalhah satu-satunya yang berada dengan Rasulullah. Maka Thalhah pun memeluk Rasulullah dengan tangan kiri dan dadanya. Sedangkan tangan kanannya menebas-nebas serangan musuh dengan pedangnya. Sengit dan perih sekali serangan yang diterima Thalhah. Saat itu Rasulullah hendak naik keatas bukit untuk menyeru barisan pasukan muslim yang tergoyah karena kabar bahwa Rasulullah telah dibunuh. Tapi sulitnya keadaan saat itu, ditambah dua baju besi yang ia kenakan berlapis membuatnya terasa berat. Begitu susahnya hingga beliau terjatuh dan melukai wajahnya. Thalhah yang masih sibuk menghalau para musuh yang menyerang Rasulullah itu kemudian menggendong Rasulullah. Dia bawa Rasulullah ke puncak bukit. Kemudian ia kembali lagi bertarung dengan pasukan musuh.”
.
“Ketika Rasulullah berada di puncak bukit dengan selamat, Abu Bakar dan Abu Ubaidah yang berjarak agak jauh dari Rasulullah kemudian mendekati Rasulullah. “Tinggalkan aku, bantulah Thalhah!” Seru Rasulullah. Maka keduanya pun mencari Thalhah. Mereka menemukan thalhah terkulai diatas tanah, Badannya babak belur dengan lebih dari 80 luka di tubuhnya, dan jemarinya tangannya putus. Mereka berdua mengira Thalhah telah gugur. Tak lama kemudian Thalhah terbangun. Ternyata ia pingsan. Maka segeralah keduanya menolong Thalhah. Kepahlawanannya membuatnya mendapat julukan Asy Syahidul Hayy, Seorang syahid yang hidup. Rasulullah berkata, “Siapa ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah kematiannya, maka lihatlah Thalhah. Dan Wajib baginya surga.” Kepahlawanannya melegenda. Setiap kali para sahabat mengenang peristiwa Uhud, mereka berujar bahwa peperangan Uhud adalah milik Thalhah seluruhnya.“
.
“Itulah Thalhah. Perisai dan baju besi yang melindungi Rasulullah. Yang masih hidup namun telah bergelar syahid. Baginya, dijanjikan surga diantara 10 sahabat yang utama.” Ujarku mengakhiri cerita.
.
“Ayah, Aku ingin menjadi tentara Allah. Tentara Rasulullah. Seperti Thalhah yang menyerahkan seluruh tubuhnya terkoyak untuk melindungi Rasulullah.” Ucapmu sambil berlinangan air mata.
.
“Kau telah menjadi tentara Allah, Nak. Kau adalah tentara Allah.” Jawabku sendu sambil mencium keningmu. “Sekarang tidurlah. Bawa Rasulullah ke dalam mimpimu. Jadilah engkau perisai dan baju besi baginya.” Ujarku disambut senyum di sudut bibirmu.
.
Ditingkah gemericik hujan yang terdengar diantara jendela malam itu, kuajak ibumu mengambil wudhu. Di sudut kamar tempatmu tertidur diatas ranjang rumah sakit itu, kami mendirikan shalat. Kugenggam erat tangan ibumu yang duduk bersandar di sampingku seusai shalat. “Ya Allah, kuatkan kami.” Gumam ibumu lirih. Kurasakan air matanya membasahi pundakku. Aku dekap erat pundak ibumu. “Allah Maha Kuat, Zha. Allah Maha Kuat.” Ujarku masih mendekapnya.
.
“Diantara orang-orang Mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun juga!” (QS Al-Ahzab: 23)
Mataram, Jumat 13 Januari 2017
#cerpen #Asy syahidul hayy #jumuah mubarak